Friday, August 29, 2008

KEPEMIMPINAN ERA BARU


Isu kepemimpinan telah menjadi salah satu topik yang paling banyak diperbincangkan sepanjang sejarah. Mulai dari pemimpin militer atau politik (e.g: Napoleon, Mohammad Hatta) hingga pemimpin gerakan sosial (e.g: Martin Luther King, Mother Teresa, Mahatma Gandhi). Dari aneka model kepemimpinan yang ditampilkan dalam sejarah, saya terkesan dengan kepemimpinan Mohammad Hatta. Untuk konteks Indonesia yang pluralis, model pemimpin yang mampu “mengolah perbedaan menjadi harmoni” merupakan suatu keperluan.

Umumnya manusia sulit hidup dengan hal-hal yang berlawanan. Orang sering berpikir bahwa harus ada satu yang benar di antara dua hal bertentangan. Manusia umumnya tidak gampang untuk menerima suatu paradoks (dua hal berbeda/bertentangan tapi benar keduanya, atau masing-masing ada benarnya). Makanya banyak orang lebih berpihak ke kanan atau ke kiri, hitam atau putih (tidak ada abu-abu). Pola pikir ini dikuasai oleh tirani “atau”. Tirani “atau” mendesak orang untuk percaya bahwa keputusan haruslah memilih A atau B, bukan keduanya.

Berbeda dari paradigma di atas, Hatta memperkenalkan model kepemimpinan yang memuat kemampuan untuk hidup dengan paradoks. Bagaimana seseorang bisa menjadi etis dan politis pada saat bersamaan? Bagaimana seseorang dapat bersikap sensitif terhadap orang lain dan sekaligus disiplin dan bertekad kuat untuk melakukan perubahan? Bagaimana seseorang dapat memberikan perhatian ke detail dan sekaligus mempertahankan dan mengejar kemungkinan yang belum jelas benar? Bagaimana seseorang dapat meningkatkan produktivitas dan sekaligus terus berinovasi? Kontradiksi-kontradiksi ini memunculkan syarat utama dari kepemimpinan berperforma tinggi yang handal dalam memadukan elemen trensformasional dan transaksional. Collin & Porras, dalam buku spektakuler “Built to Last: Successful Habits of Visionary Companies”, melukiskan paradoks ini dengan ungkapan menolak “Tirani ATAU”, dan mengembangkan “Genius DAN”.

Dengan paradigma “genius DAN”, seorang pemimpin akan menciptakan keseimbangan dan dapat mengatasi paradoks antara memimpin dan mengelola, antara berjuang untuk restrukturisasi sekaligus juga mengelola secara efisien keseharian dalam cara yang teratur. Di tengah perubahan lingkungan yang semakin global, seorang pemimpin transformasional berani mengubah status quo, dengan memberikan visi untuk masa depan dan ikhlas meluangkan waktu untuk menyebarkan visi tersebut kepada orang lain. Dengan berbagai visi, seorang pemimpin memperjelas masa sekarang, menjelaskan bagaimana masa lalu mempengaruhi masa kini, dan meningkatkan pandangan akan masa depan.

Ia adalah-seperti yang dikatakan Hatta- orang yang berani membuat terobosan (breakthrough). Ketika memandang suatu realitas, ia memandang hingga hakekat. Ia dapat memilah apa yang merupakan kesejatian dari sesuatu dalam apa yang tampak bagi mata. Ia bukanlah orang yang cenderung ikut arus, takut berinovasi, dan lebih memilih untuk menempuh jalan yang pernah dilalui (follow the same path). Sadar bahwa pemimpin bukanlah orang pertama dan satu-satunya di dunia, ia membutuhkan kebersamaan. Agar talentanya efektif, ia harus memberdayakan (bukan memperdaya) orang lain. Dengan melakukan hal baik, ia akan mendapatkan hal yang baik pula. Seperti yang dikatakan Confusius (filsuf Cina), “Manusia luhur adalah dia yang ketika mengembangkan dirinya, mengembangkan orang lain.”

Seorang pemimpin seperti ini akan masuk ke dalam jiwa dan pikiran orang lain, serta oleh karenanya, meningkatkan kreativitas orang lain agar lebih bersemangat berjuang demi hasil akhir bersama yang lebih baik.

Memasuki dunia yang semakin global, saat ini banyak perusahaan menghadapi kondisi baru yang seringkali mendorong organisasi dan karyawan terlibat dalam arah strategik yang bertentangan pada waktu bersamaan. Seringkali terdengar bahwa organisasi di dunia global kerap dihadapkan pada pilihan dilematis antara efisiensi dengan inovasi, tujuan laba dengan non-laba, inti ideologi yang relatif tetap dengan perubahan, manajemen inti perusahaan dengan manajemen perubahan, investasi jangka panjang dengan jangka pendek, integrasi dengan responsivitas, dan lain sebagainya. Mantan eksekutif puncak ABB, Percy Barnevik menegaskan: “Kami ingin menjadi global dan lokal, besar dan kecil, terdesentralisasi dan pelaporan dan control yang terpusat. Bila kami dapat mengatasi kontradiksi ini, maka kami dapat menciptakan keunggulan organisasi yang sebenarnya.”

Pemimpin era baru yang global harus memaksimalkan kedua dimensi yang bertentangan; mencapai integrasi global seraya tetap responsif terhadap lingkungan sekitar. Melawan tiran ATAU dan merangkul genius DAN. Pendekatan baru terfokus pada proses manajemen, bukannya pada struktur dan prosedur organisasi. Dan kunci untuk mencari tahu proses itu berada dalam paradigma pemimpin dan orang-orang yang berada dalam organisasi.

"Jika Anda inginkan perubahan kecil dalam hidup Anda, ubahlah perilaku Anda. Jika inginkan perubahan besar, ubahlah paradigma Anda," kata Stephen Covey.


Lianto

Friday, August 15, 2008

Apa itu "Strategi"?



Saya sangat terkesan dengan artikel Michael Porter berjudul “What is Strategy?” yang dimuat dalam Harvard Business Review, Nov-Des 1996. Awalnya saya bermaksud meringkas artikel hampir 20 hlm tersebut dalam tulisan ini. Namun saya mengalami kesulitan untuk meringkas tulisan Porter, karena tidak ada bagian yang pantas dibuang. Setiap pikiran Porter dalam artikel tersebut sedemikian penting sehingga jika dibuat suatu resume singkat, Anda hanya akan kebagian subjudul dan atau suatu glossary yang memuat entri-entri berdiri sendiri. Mungkin di lain kesempatan akan dicoba menerjemahkannya untuk Anda. Rencana membuat resume berubah menjadi penuangan pikiran seorang pemula di ranah managemen strategis untuk melimpahkan aneka pikiran berkaitan dengan idiom yang problematis ini: STRATEGI!

Problematika Idiom “Strategi”
Istilah “strategi” tidak asing dalam percakapan sehari-hari. Kita mempunyai pengertian tersendiri ketika membaca kata ini dalam sebuah tulisan atau mendengarnya dari percakapan seseorang. Kita juga bisa memakai istilah ini tatkala berbicara kepada orang lain. Intinya, istilah ini sangat populis. Yang agak membingungkan, istilah strategi biasanya tidak dibedakan dari “siasat” atau “taktik”. Kata “strategi” sering digunakan tatkala orang mau memaksudkan “siasat” atau “kiat”. Dalam buku terbarunya,  The Execution Premium: Linking Strategy to Operations for Competitive Advantage, Kaplan & Norton memilah dua hal ini dengan jelas seraya memadukannya menjadi dua unsur yang menghasilkan power yang digdaya. Strategi dan operasi (taktik) adalah dua hal yang sama-sama penting namun berbeda. Untuk menunjukkan perbedaan dan perlunya integrasi dua hal tersebut, Kaplan dan Norton membuka buku barunya itu dengan kutipan dari The Art of War, karya Sun Tzu: "Strategy without tactics is the long road to victory; tactics without strategy is the noise before defeat."

Di antara para pakar bisnis rupanya tidak memiliki kesepakatan mengenai definisi istilah ini. Tidak adanya kesepakatan istilah ini seringkali menimbulkan tanda tanya tentang ide dan keluasan yang dicakup. Problematika terminologi ini muncul karena istilah “strategi” itu sendiri bersifat multidimensional. Hal ini mengindikasikan perlunya penyamaan persepsi awal ketika mencerap gagasan tertentu mengenai strategi. Tidak adanya konsensus mengenai istilah ini tidak mengurangi kebutuhan akan adanya strategi dalam dunia usaha. Untuk memahami kandungan dalam istilah “strategi”, kita bisa menyimak dimensi apa saja yang termaktub di dalamnya. Berikut ini saya bagikan pelbagai isi strategi dalam pelbagai konteks yang multidimensional itu. Semoga uraian ini dapat membentuk pemahaman yang lebih holistik ketika kita mendengar atau memakai istilah “strategi”.

*Strategi sebagai penentu tujuan jangka panjang, program kerja, dan alokasi sumberdaya.
Dalam dimensi ini, strategi merupakan cara untuk secara eksplisit menentukan tujuan jangka panjang, sasaran-sasaran organisasi, program kerja yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan, dan alokasi sumberdaya yang diperlukan.

*Strategi sebagai penentu aspek keunggulan organisasi. Di sini strategi dijadikan power yang efektif untuk menentukan segmentasi produk dan pasar. Segmentasi itu mencakup baik penentuan customer maupun pengenalan tentang competitor yang dihadapi.

*Strategi sebagai penentu tugas manajerial. Dimensi ini memperlihatkan tiga perspektif organisasi sebagai korporasi, bisnis, dan fungsi-fungsi. Ketiga perspektif ini harus dilihat secara holistik dengan tetap memperhatikan perbedaan tugas manajerial masing-masing perspektif. Strategi dipilahkan dari sekedar efektivitas operasional yang terdiri dari serangkaian aktivitas. Di samping menentukan dan menyusun aktivitas yang perlu dilakukan untuk mencapai level terbaik, strategi juga berperan memperlihatkan bagaimana aktivitas-aktivitas tersebut saling berhubungan.

*Strategi sebagai pola pengambilan keputusan yang saling mengikat. Di sini strategi dilihat sebagai pola pengambilan keputusan berdasarkan masa lampau yang mungkin ikut menentukan apa yang harus dilakukan di masa depan.

*Strategi sebagai penentu imbalan, baik ekonomis maupun non-ekonomis kepada stakeholders. Dimensi ini menunjukkan bahwa tanggung jawab perusahaan bukan terbatas pada shareholders saja, tetapi juga kepada semua stakeholders, misalnya: karyawan, para manajer, pembeli, pemasok, dan sebagainya.

*Strategi sebagai pernyataan keinginan strategis. Dimensi ini menempatkan strategi sebagai perumus posisi strategis organisasi tentang besarnya tantangan dalam mencapai tujuan. Di sini strategi tidak berhenti hanya pada penyusunan program-program yang sudah atau sedang berjalan, tetapi terus terarah pada pemusatan daya kreativitas dan mendorong organisasi ke posisi yang semakin jaya.

*Strategi sebagai sarana untuk mengembangkan core compentencies organisasi. Dimensi ini mengalihkan fokus organisasi dari strategic business unit (SBU) ke level korporasi. Jika organisasi terfokus pada alokasi sumberdaya ke SBU semata, maka dalam jangka pendek mungkin akan menunjukkan kinerja baik. Tetapi pada suatu saat, organisasi akan melihat bahwa investasi untuk mengembangkan kompetensi inti tidak memadai sehingga kehilangan keunggulan untuk bersaing.

*Strategi sebagai upaya mengalokasikan sumberdaya untuk mengembangkan keunggulan daya saing yang bersinambung. Di sini kompetensi inti terkait erat dengan sumberdaya organisasi. Dan strategi dilihat sebagai model investasi berbasis sumberdaya untuk mengembangkan sumberdaya sebagai sarana mencapai keunggulan. Di sini mau ditekankan bahwa keunggulan daya saing tergantung pada pengembangan sumberdaya organisasi.

Henry Mintzberg melukiskan bahwa “We are the blind people, and strategy formation is our elephant”. Karena kekayaan dimensi dari suatu strategi, kita ibarat orang buta yang memegang salah satu bagian tubuh gajah dan menganggap bahwa bagian yang kita pegang adalah gajah. Padahal gajah terdiri dari tubuh, telinga, belalai, kaki, ekor, dan sebagainya. Keseluruhan bermakna utuh ketimbang bagian per bagian. Tetapi kita baru bisa menghargai keseluruhan bila kita paham bagian-bagian.

Bagaimana supaya pelbagai dimensi ini dapat dipadukan menjadi suatu sistem yang terstruktur dan holistik? Sintesa bukanlah sekadar menggabungkan pandangan berbeda. "...to function as strategic of course, mean not just to hold such opposing views, but to be able to synthesize them", kata Spencer. Kaplan & Norton menawarkan solusi melalui konsep Balanced Scorecard. Strategi sebagai konsep adalah blueprint masa depan berjangka panjang. Blueprint itu terdiri dari dua bagian utama, yakni tujuan jangka panjang dan cara untuk mencapai tujuan jangka panjang itu berdasarkan tujuan dan aktivitas dalam perspektif financial, perspektif customer, perspektif proses internal, dan perspektif learning and growth. Dengan perpaduan dua bagian utama ini, suatu strategi akan benar-benar menjadi konsep yang terstruktur dan holistik! Dengan Balanced Scorecard, strategi akan menjadi konsep pars pro toto (bagian-bagian untuk keseluruhan/terstruktur) sekaligus totem pro parte
(keseluruhan untuk bagian-bagian/holistik).

Lianto

Tuesday, August 12, 2008

Core Value



Inti dari kuliah sehari Prof. Wahjudi Prakarsa, PhD tempo hari (lih. Turbulensi Lingkungan Bisnis) adalah bahwa lingkungan bisnis yang berubah menuntut perusahaan untuk berubah (beradaptasi) agar tetap survival. Mungkin “perubahan” merupakan idiom yang paling popular diteriakkan selama k.l. tiga dekade terakhir ini. Para pakar manajemen menegaskan: “If you don’t change, the competitors will change you!” Bahkan tertemukan aforisme ekstrim: “Satu-satunya yang konstan hanyalah perubahan”. Dengan kata lain, yang tidak berubah adalah bahwa kita harus terus berubah.

Dalam ranah sosial-politik di Indonesia, angin perubahan ditiupkan dalam istilah “reformasi”. Sejumlah kalangan menilai bahwa reformasi Indonesia kebablasan. Tidak jelas apa yang dimaksudkan dengan “kebablasan”. Mungkin maksudnya adalah reformasi “babi-buta”. Pertanyaan yang penting dan relevan dipertanyakan adalah: sudahkah pemimpin-pemimpin bangsa ini menyadari secara “jelas dan terpilah” apa yang seharusnya berubah dan apa yang tidak boleh berubah? Bangsa ini lalai dalam membedakan nilai inti (yang abadi/tidak berubah) dari cara/sarana (operasional) untuk mencapai tujuan negara-bangsa.

Hal serupa terjadi dalam banyak perusahaan di Indonesia. Mereka tidak punya gagasan yang jelas dan terpilah (clear and distinctly) tentang apa yang tidak boleh berubah (core value) dan apa yang harus berubah untuk menghadapi perkembangan lingkungan yang menuntut perubahan. Mereka menanggapi isu perubahan dengan mengubah bisnis perusahaan dan menempuh pelbagai kebijakan untuk meraih keuntungan jangka pendek. Nyata di masa lalu bahwa sejumlah perusahaan yang telah memiliki brand dan kinerja bagus, melakukan diversifikasi ke bidang usaha lain untuk meraup laba jangka pendek. Mereka gagal teristimewa oleh terpaan badai krisis moneter. Sejumlah perusahaan lain yang terus menekuni bisnisnya ternyata mampu tetap eksis, seperti kita lihat pada Gudang Garam, Wings, dan lainnya.

Kuncinya terletak pada pemilahan yang critical antara nilai inti (core value) yang tidak boleh berubah dari nilai non-inti yang seharusnya terbuka pada perubahan. Sebagai contoh, para eksekutif Hewlett-Packard membimbing para karyawan untuk memahami bahwa perubahan praktek operasi, norma-norma budaya, dan strategi bisnis bukan berarti hilangnya semangat HP Way. Johnson & Johnson mengubah struktur dan proses organisasinya sambil tetap mempertahankan nilai inti yang tertuang dalam Credo-nya. 3M menjual seluruh bagian perusahaan yang kurang inovatif untuk memusatkan kembali orientasi (nilai) abadinya, yakni memecahkan masalah yang tak terpecahkan dengan inovatif.

Sebelum menapaki perubahan, sangat penting untuk memilah kedua hal tersebut. Di tengah perubahan lingkungan bisnis, kultur, strategi, taktik, operasi, kebijaksanaan, lini produk, tujuan, kecakapan, struktur, sistem balas jasa, dapat berubah. Tetapi nilai inti perusahaan harus dipelihara dan dipertahankan. Nilai inti (core value) adalah esensi organisasi dan ajaran abadi yang merupakan rangkaian prinsip petunjuk umum. Tia bukan budaya organisasi yang spesifik atau pelaksanaan dalam praktek, juga tidak berkompromi dengan keuntungan keuangan atau pengeluaran jangka pendek. Untuk jelasnya, mari simak nilai inti dan non-inti sejumlah perusahaan visioner berikut ini.

Hewlett-Packard: “Menghargai dan memperhatikan setiap karyawan secara personal”. Ini adalah core value yang permanen (tidak berubah, sekali pun bagian kecil). Membagikan buah dan donut pada pukul sepuluh setiap hari bukan core value, tetapi aktivitas operasional yang dapat berubah sewaktu-waktu.

Wal-Mart: “Melebihi ekspektasi pelanggan” merupakan core value yang tidak berubah. Menyambut pelanggan di depan pintu bukan bagian dari core value, tetapi bentuk pelayanan yang dapat berubah.

Boeing: “Boeing merupakan pemimpin dunia penerbangan; menjadi pionir” adalah core value. Komitmen untuk membuat pesawat jumbo jet bukan bagian dari core value, tetapi merupakan strategi perusahaan pada waktu tertentu yang dapat berubah di masa yang akan datang.

Merck: “Kami bergerak dalam bisnis untuk mempertahankan dan meningkatkan kehidupan manusia” adalah core value! Komitmen untuk melakukan riset mengenai jenis penyakit tertentu bukan merupakan core value, tetapi strategi yang berlaku pada waktu tertentu dan bisa berubah sewaktu perlu.

Thomas J. Watson, CEO IBM, menegaskan pentingnya core value (yang ia ungkapkan dengan kata “belief”; “kepercayaan”) dalam buklet A Business and Its Beliefs (1963). Ia dengan yakin menekankan bahwa untuk dapat eksis, suatu organisasi harus memiliki dasar yang diyakini, yang mendasari semua kebijakan dan tindakan perusahaan. Faktor tunggal terpenting dalam keberhasilan perusahaan adalah ketaatan terhadap kepercayaan tersebut. Kepercayaan itu harus sudah ada sebelum kebijaksanaan, pelaksanaan, dan tujuan ditetapkan. Tujuan harus diubah jika dianggap tidak sesuai dengan kepercayaan yang fundamental itu.

Istilah Watson “belief” dekat dengan judul “Credo” (Latin: “aku percaya”, suatu “syahadat”) yang dipakai Johnson & Johnson untuk filosofinya. Idiom ini membantu pemahaman bahwa core value itu hadir sebagai unsur internal yang independen terhadap lingkungan luar. Selain berarti tidak terpengaruh oleh faktor eksternal, core value tidak bisa ditetapkan dengan menjiplak core value dari perusahaan lain, seberapa pun visionernya perusahaan itu. Atau mencari ide dari buku best-seller manajemen yang mengobral core value yang paling popular atau paling trendy. Yang paling utama dalam menetapkan core value adalah menemukan apa yang secara otentik dipercaya. Tidak peduli pendapat terhadap kepercayaan itu di mata orang luar, melainkan seberapa dalam mereka percaya akan nilai itu dan sejauh mana perusahaan, pemimpin, dan karyawannya konsisten mempercayai, menjiwai, dan melaksanakannya.

Ketika menulis “credo”-nya, Robert W. Johnson, Jr. bukan berpikir tentang teori konseptual yang menggabungkan credo dengan laba, atau karena membaca hal itu dari buku ternama. Ia menulis credo karena perusahaan membutuhkan kepercayaan yang ingin ia pertahankan. George Merck II sangat PERCAYA bahwa obat adalah untuk pasien, dan dia ingin setiap karyawan Merck mempercayai dan menjalankan kepercayaan itu (“Medicine is for the people, profits come later”). Kepercayaannya merupakan jati diri perusahaan yang selayaknya tidak berubah karena memperlihatkan makna dan pendirian mengapa Merck bergerak di bidang farmasi. Core Value haruslah sesuatu yang otentik dan original dari jiwa perusahaan sendiri. Inilah nilai yang harus dipelihara dan dipertahankan di tengah arus perubahan. Perubahan apa pun yang terjadi dalam perusahaan harus dijaga agar tidak bertentangan dengan nilai intrinsik ini.

Monday, August 11, 2008

Turbulensi Lingkungan Bisnis



Karakteristik Lingkungan Bisnis
Krisis ekonomi, perubahan pemerintahan, dan pelbagai gejolak social-ekonomi-politik di tahun 1997 telah menyebabkan turbulensi kuat dalam lingkungan bisnis. Pukulan terbesar dialami oleh para taipan bisnis sebab mereka mempunyai penetrasi pasar yang luas. Pedagang kecil mendapat pengaruh lebih kecil berhubung lingkungan bisnis bersifat tertutup sehingga gejolak yang terjadi di luar lingkungan bisnisnya tidak banyak berpengaruh.

Perubahan lingkungan bisnis mau tak mau mengondisikan pelaku bisnis untuk memiliki daya adaptasi agar tetap survive. Merujuk ke teori evolusi Darwin (The Survival of the Fittest), pelaku bisnis harus siap beradaptasi di lingkungan baru yang sangat kompetitif dan siap mengadakan perubahan baik dalam visi, misi, struktur, kultur, maupun system bisnis. Manusia tetap eksis karena adaptasi. Dinosaurus yang tidak adaptable, punah dimakan zaman. If you don’t change, the competitor will change you!

Menurut Emery & Trist, ada empat jenis lingkungan bisnis yang bermula dari entitas relatif tertutup ke entitas yang relatif terbuka. Keempat entitas usaha itu adalah: Placid – randomized Environment, Placid-cluster Environment, Disturbed-reactive Environment, dan Turbulent Environment. Berikut ini diuraikan karakteristik dari tiap entitas bisnis tersebut. Keempat level entitas bisnis juga menggambarkan perkembangan sisi kompleksitas transaksi bisnis dan interaksi internal maupun eksternal pelaku bisnis dengan lingkungan usaha.

1. Placid-randomized Environment
Pasar dalam entitas ini adalah perfect competition. Karakteristik perfect competition tidak ditemukan dalam dunia nyata. Konsep ini diciptakan oleh ahli ekonomi untuk memperlihatkan bagaimana jika perekonomian sepenuhnya ditentukan oleh mekanisme pasar; diatur sepenuhnya oleh the invisible hands. Ada pun sejumlah asumsi dikenakan pada pasar perfect competition sebagai berikut:
- Pelaku bisnis serba tahu (memiliki perfect knowledge) sehingga informasi yang dimiliki bersifat simetris.
- Produk yang dijual bersifat homogen
- Sumberdaya bisa berpindah-pindah dan dibagi-bagi tanpa biaya
- Merupakan kompetisi atomistic dan random
- Bebas masuk maupun keluar (berdiri maupun bangkrut)
- Bebas biaya transaksi (zero)
Kalau semua asumsi ini terpenuhi, ekonomi dapat diatur oleh mekanisme pasar. Impossible bukan?!

Karena serba tahu, pelaku bisnis cukup memantau saja. Berhubung skala bisnis masih kecil, untuk survive, adaptasi hanya membutuhkan proses pembelajaran dari transaksi eksternal. Tak ada yang mempersulit, semuanya berada di tangan sendiri (controllable). Proses bisnisnya adalah flow/Process Productivity yang diperhitungkan melalui output per unit dibagi input.

Dalam entitas ini, interaksi dan transaksi melulu bersifat ekonomis, relatif tidak berubah (statis). Permintaan (demand) tersebar secara acak, perubahan terjadi dengan lambat, ketidakpastian kecil. Karena perubahan sangat lambat dan acak, pengambilan keputusan manajerial jarang mempertimbangkan faktor lingkungan.

Sudah adakah isu Good Corporate Governance (GCG)?
Dalam entitas bisnis ini, tak ada yang mempersulit, semuanya relatif terkontrol dan berada dalam tangan sendiri. Tia sangat akuntabel karena tidak ada perbedaan antara owner dan manajer. Dan berhubung tia memiliki perfect knowledge, bisnis sangat transparan. Responsibility pun tak teragukan karena investasi umumnya berasal dari modal sendiri. Jadi, di entitas ini, belum ada isu GCG.

Karakteristik akuntansi:
- Karena belum ada transaksi internal, yang dibutuhkan hanya financial accounting
- Berhubung harga adalah given, kinerja entitas hanya bergantung pada efisiensi internal yang terkendali
- Tidak ada opportunity costs/benefits
- Karena apa yang diharapkan selalu menjadi kenyataan, entitas usaha belum membutuhkan sistem anggaran maupun rencana. Seperti Adam dan Hawa di Taman Eden, semua tersedia, tidak butuh rencana. Bila orang katakan: “Percuma bikin rencana kalau masa depan uncertainty”. Terbalik! Justru dalam situasi uncertainty, rencana dibutuhkan. Kondisi ini menimpa entitas-entitas seperti dipaparkan berikut ini.

2. Placid-cluster Environment
Di sini berlaku pasar imperfect competition, mulai berkenalan dengan transaksi internal dan struktur hirarki. Entitas mulai membutuhkan strategi tentang tujuan/target yang ingin dicapai dan menyusun taktik untuk mewujudkannya. Di samping proses pembelajaran dari transaksi eksternal, entitas butuh proses perencanaan karena adanya factor uncertainty. Dalam entitas sebelumnya, full capacity pasti tercapai karena skala yang kecil. Tetapi entitas kedua ini (karena skala lebih besar) membutuhkan taktik untuk memaksimalkan capacity. Di sini dapat terjadi perbedaan antara realisasi dengan target yang diinginkan. Jika produktivitas melebihi target, entitas bisa peroleh opportunity benefit. Sebaliknya bila kurang dari target akan menimbulkan opportunity cost. Maka dikenal istilah bounded productivity; produktivitas terikat (realisasi minus target)

Dalam entitas ini, interaksi dan transaksi mulai mempertimbangkan faktor sosial-budaya (di samping motif ekonomi). Kompleksitas, size, dan transaksi makin bertambah. Tuntutan perubahan ada, namun tidak dalam artian drastis atau cepat. Untuk survival, di samping proses pembelajaran (interaksi lingkungan ekternal ke internal), entitas membutuhkan proses perencanaan (interaksi lingkungan internal ke eksternal). Permintaan lebih berkelompok daripada acak. Ini berarti gaya-gaya (forces) dalam lingkungan bertautan satu sama lain. Para penyalur dapat bergabung untuk membentuk suatu powerful coalition. Dalam entitas ini, faktor lingkungan harus lebih banyak dipelajari (daripada entitas randomized) sehingga organisasi dalam lingkungan itu termotivasi untuk melakukan perencanaan jangka panjang dan struktur perusahaan cenderung tersentralisasi. Di samping faktor market, entitas mulai mempertimbangkan lingkungan non-market.

Apakah di sini sudah ada isu GCG?
Lingkungan memang sudah berbeda. Kompleksitas dan transaksi pun bertambah. Fairness dan accountability mungkin sedikit relevan demi menciptakan nilai kredibilitas pada bank. Dalam aspek transparansi, kendati bukan lagi serba tahu (seperti perfect competition), namun belum terlalu kompleks sehingga membutuhkan transparansi. Dengan kata lain, apa yang dilakukan bawahan masih relatif terkontrol. Jadi, belum ada isu GCG yang menuntut perhatian.

Karakteristik Akuntansi
- Berhubung sudah ada transaksi internal, maka seiring perkembangan skala usaha, mulai dibutuhkan akuntansi manajemen, termasuk pula system anggaran. Berbeda dari akuntansi tradisional, akuntansi manajemen mencatat baik transaksi eksternal maupun internal. Manajemen akuntansi menciptakan system alokasi sumberdaya yang efisien misalnya melalui transfer pricing, penilaian proyek berdasar kriteria payback period, NPV, IRR, dll.
- Pasar yang tidak lagi sempurna memerlukan perencanaan dan pengendalian keuangan melalui financial budgeting. Namun berhubung territory, lini produk, dan sumberdaya belum terlalu luas, budgeting masih sederhana.
- Sejauh rencana masuk akal, aggregate net opportunity cost/benefit dapat dihitung

3. Disturbed-reactive Environment.

Dalam entitas ini, berlaku pasar oligopolistic competition. Di samping bersifat ekonomis dan sosial-budaya, transaksi dan interaksi meluas ke faktor politis. Aspek lingkungan non-market makin menuntut perhatian. Satu atau lebih organisasi pesaing dalam lingkungan mungkin cukup besar untuk mempengaruhi. Jika terdapat hanya beberapa pemain, bisa jadi muncul bahaya kartel di mana pemain-pemain membuat kesepakatan menentukan harga bersama dan menghentikan peperangan. Arena persaingan menuntut fleksibilitas untuk survive dan struktur organisasi cenderung desentralisasi.

Di samping proses pembelajaran dan perencanaan, untuk dapat survive, bisnis mulai harus menambah proses sistem untuk menciptakan interaksi internal terbaik. Konsep produktivitas berubah menjadi konsep produktivitas sistemik. Ukurannya adalah benchmarking ke sistem (competitor) terbaik. Misalnya dalam hal defect, delivering time, customer service, dll.

Sudah adakah isu GCG?
Di sisi fairness, berhubung sudah memasuki interaksi politis, entitas ini mulai membentuk lobi-lobi bisnis-politis. Pelaku mulai menanamkan power dalam kebijakan birokrat, pembuatan undang-undang, atau peraturan pemerintah berkaitan dengan kepentingan bisnis. Skala bisnis belum sampai borderless sehingga negara/birokrat masih bisa menentukan undang-undang yang disepakati bersama pelaku usaha. Isu transparansi pun belum menonjol karena pemerintah masih bisa mengontrol dengan pelbagai mekanisme hukum. Isu GCG sudah mulai bertiup, tetapi masih dalam skala tidak terlalu besar.

Karakteristik akuntansi:
- Transaksi internal menjadi semakin kompleks
- Validitas financial accounting semakin perlu diteliti berhubung operating cycle yang semakin panjang
- Stakeholders semakin meluas, tidak hanya terbatas pada owner
- Diperlukan segmentasi organisasi secara berjenjang menurut otoritas
- Span of control yang terbatas menuntut perlunya management control system dan responsibility accounting
- Keunggulan daya saing ditentukan oleh efisiensi yang tergantung pada kinerja sistem internal yang menghasilkan value added.
Meskipun kapitalis, campur tangan pemerintah sebagai wasit masih diperlukan. Pertemuan antara dua kepentingan; big business dan big labor, bisa saja menimbulkan chaos. Perlu penengah Big Government seraya mempertahankan keseimbangan peranan karena konsep kapitalis menghendaki intervensi pemerintah diminimalisasi.

4. Turbulent Environment
Di lingkungan ini berlaku pasar hyper competition. Di samping mencakup tiga proses yang dikenal dalam entitas-entitas sebelumnya, lingkungan yang amat ganas dan kompleks ini harus mempertimbangkan proses lingkungan (interaksi eksternal vs eksternal). Aspek non-market menjadi makin penting. Peningkatan kompleksitas dan interaksi membawa entitas ini meluas ke skala global.
Lingkungan turbulen merupakan lingkungan yang paling dinamik dengan ketidakpastian terbesar. Perubahan selalu terjadi dan unsur-unsur dalam lingkungan saling terkait satu sama lain. Dengan perubahan bersama-sama , unsur-unsur dalam lingkungan menciptakan compounded changes effect terhadap perusahaan. Pada lingkungan yang turbulen perusahaan mungkin harus selalu mengembangkan produk-produk dan jasa-jasa baru sebagai dasar untuk survive. Juga harus selalu mengevaluasi hubungannya dengan competitor. Orientasi lebih diarahkan pada aliansi daripada kompetisi. Perhatian besar juga ditujukan pada manajemen hubungan dengan pelanggan (CRM) dan pemasok (SCM).

Adakah isu GCG? Pasti! Ukuran fairness bukan lagi terbatas pada kebijakan nasional melainkan global. Accountability pun disesuaikan dengan standar internasional. Entitas yang berorientasi jauh ke depan serta-merta harus berkiblat global. Tanpa standar yang berlaku universal, investor asing tidak akan tertarik untuk berinvestasi. Disinilah isu GCG mendapat perhatian besar.

Karakteristik akuntansi:
- Financial accounting mengalami kesulitan untuk mengukur intangible assets. Kaplan menyimpulkan bahwa organisasi di era 2000-an terdiri dari 10-15% tangible assets dan 85-90% intangible assets. Financial accounting tidak memadai lagi karena yang dicatat hanya tangible assets. Misalnya: biaya pendidikan atau training dicatat sebagai expense. Padahal aktivitas ini menaikkan nilai perusahaan, tapi nilai tambah ini tidak masuk ukuran dalam laporan keuangan financial accounting.
- Karena lingkungan borderless, stakeholders pun makin heterogen
- Definisi management accounting mengalami modifikasi; tidak terbatas pada data dan informasi keuangan.
- Yang penting bukanlah accounting biaya, melainkan manajemen biaya.
- Visi dan strategi dijabarkan secara hirarkis hingga ke bawah (personal objectives) dengan rangkaian sebab-akibat yang jelas (lead and lag indicators)

Menurut Prahalad dan Hamel, ada banyak factor yang menyebabkan perubahan lingkungan yang menciptakan tekanan untuk mengadakan pemikiran ulang yang radikal untuk menghadapi globalisasi. Faktor-faktor itu antara lain:
- Deregulasi
- Perubahan struktur
- Excess capacity (apa yang diproyeksikan jauh dari kenyataan)
- Merger dan akuisisi
- Kepedulian terhadap lingkungan (mis: isu global warming)
- Perubahan ekspektasi customer
- Technological discontinuities
- Emergent of trading blocks
- Global competition

- Makin mengecilnya proteksionisme

Perubahan yang dituntut bukan hanya struktur, tetapi juga kultur dan sistem. Jika era lama berlaku “The Big is beautiful”, di lingkungan global menjadi “The small is beautiful”. Konsep yang trend adalah “lean”; bagaimana organisasi dibuat “langsing”; buang lemak agar bisa lari kencang di era globalisasi. Transformasi ini diwujudkan dengan delayering dan outsourcing. Sistem kembali ke mekanisme pasar. Perbandingan tuntutan perubahan sebelum dan sesudah lingkungan turbulent tergambar berikut ini:

Pre-turbulance:
- transaksi internal berbasis otoritas; top-down (aba-aba dari atas)
- investasi menonjol dalam tangible asset
- mengukur secara financial
- pre-operating cost dalam mass production belum dominan sehingga yang dikontrol adalah biaya operasional
- laporan bersifat fragmentaris (unbalanced scorecard)

Turbulance:
- transaksi internal berbasis proses/aktivitas
- investasi menonjol dalam intangible asset
- ukuran financial dan non-financial
- pre-operating cost dalam mass production menjadi makin mahal sehingga yang dikontrol adalah biaya pra-operasional
- laporan terintegrasi dengan visi dan strategi organisasi (balanced scorecard)

Dalam lingkungan turbulent, penting untuk melihat strategi secara holistik. Visi, misi, dan strategi harus diturunkan (cascading) dari level corporate, divisi, unit bisnis strategi, hingga personal. Perubahan lingkungan yang drastis menuntut perubahan paradigma, visi-misi-strategi, sistem maupun kultur organisasi.

Perubahan paradigma:
Lama: Baru:
Competition Coopetition
Hirarkis Network
Mekanistik Organismik
Otokratis Partisipatif
Konfrontasi ko-eksistensi

Perubahan visi, misi, dan strategi:
Lama: Baru:
Production oriented Consumption oriented
Owners oriented Stakeholders oriented
Promoting perfect Sustaining economic rent
Competition

Perubahan struktur:
Lama: Baru:
Hirarkis Networking
Authority-based vertical Process-based horizontal
Rigidity Flexibility


Perubahan system:
Lama: Baru:
Mekanistik Organismik
Sequential Simultan
Analytical Configurational
Intertemporal Spatial

Perubahan kultur:
Lama: Baru:
Autocratic confrontatif Partisipatif ko-eksistensi
Intermediation Deintermediation
Disintegrasi Integrasi

***Lianto (Catatan Kuliah)

Sumber: Kuliah Manajemen Strategik Prof. Wahjudi Prakarsa, PhD.