Tuesday, August 12, 2008
Core Value
Inti dari kuliah sehari Prof. Wahjudi Prakarsa, PhD tempo hari (lih. Turbulensi Lingkungan Bisnis) adalah bahwa lingkungan bisnis yang berubah menuntut perusahaan untuk berubah (beradaptasi) agar tetap survival. Mungkin “perubahan” merupakan idiom yang paling popular diteriakkan selama k.l. tiga dekade terakhir ini. Para pakar manajemen menegaskan: “If you don’t change, the competitors will change you!” Bahkan tertemukan aforisme ekstrim: “Satu-satunya yang konstan hanyalah perubahan”. Dengan kata lain, yang tidak berubah adalah bahwa kita harus terus berubah.
Dalam ranah sosial-politik di Indonesia, angin perubahan ditiupkan dalam istilah “reformasi”. Sejumlah kalangan menilai bahwa reformasi Indonesia kebablasan. Tidak jelas apa yang dimaksudkan dengan “kebablasan”. Mungkin maksudnya adalah reformasi “babi-buta”. Pertanyaan yang penting dan relevan dipertanyakan adalah: sudahkah pemimpin-pemimpin bangsa ini menyadari secara “jelas dan terpilah” apa yang seharusnya berubah dan apa yang tidak boleh berubah? Bangsa ini lalai dalam membedakan nilai inti (yang abadi/tidak berubah) dari cara/sarana (operasional) untuk mencapai tujuan negara-bangsa.
Hal serupa terjadi dalam banyak perusahaan di Indonesia. Mereka tidak punya gagasan yang jelas dan terpilah (clear and distinctly) tentang apa yang tidak boleh berubah (core value) dan apa yang harus berubah untuk menghadapi perkembangan lingkungan yang menuntut perubahan. Mereka menanggapi isu perubahan dengan mengubah bisnis perusahaan dan menempuh pelbagai kebijakan untuk meraih keuntungan jangka pendek. Nyata di masa lalu bahwa sejumlah perusahaan yang telah memiliki brand dan kinerja bagus, melakukan diversifikasi ke bidang usaha lain untuk meraup laba jangka pendek. Mereka gagal teristimewa oleh terpaan badai krisis moneter. Sejumlah perusahaan lain yang terus menekuni bisnisnya ternyata mampu tetap eksis, seperti kita lihat pada Gudang Garam, Wings, dan lainnya.
Kuncinya terletak pada pemilahan yang critical antara nilai inti (core value) yang tidak boleh berubah dari nilai non-inti yang seharusnya terbuka pada perubahan. Sebagai contoh, para eksekutif Hewlett-Packard membimbing para karyawan untuk memahami bahwa perubahan praktek operasi, norma-norma budaya, dan strategi bisnis bukan berarti hilangnya semangat HP Way. Johnson & Johnson mengubah struktur dan proses organisasinya sambil tetap mempertahankan nilai inti yang tertuang dalam Credo-nya. 3M menjual seluruh bagian perusahaan yang kurang inovatif untuk memusatkan kembali orientasi (nilai) abadinya, yakni memecahkan masalah yang tak terpecahkan dengan inovatif.
Sebelum menapaki perubahan, sangat penting untuk memilah kedua hal tersebut. Di tengah perubahan lingkungan bisnis, kultur, strategi, taktik, operasi, kebijaksanaan, lini produk, tujuan, kecakapan, struktur, sistem balas jasa, dapat berubah. Tetapi nilai inti perusahaan harus dipelihara dan dipertahankan. Nilai inti (core value) adalah esensi organisasi dan ajaran abadi yang merupakan rangkaian prinsip petunjuk umum. Tia bukan budaya organisasi yang spesifik atau pelaksanaan dalam praktek, juga tidak berkompromi dengan keuntungan keuangan atau pengeluaran jangka pendek. Untuk jelasnya, mari simak nilai inti dan non-inti sejumlah perusahaan visioner berikut ini.
Hewlett-Packard: “Menghargai dan memperhatikan setiap karyawan secara personal”. Ini adalah core value yang permanen (tidak berubah, sekali pun bagian kecil). Membagikan buah dan donut pada pukul sepuluh setiap hari bukan core value, tetapi aktivitas operasional yang dapat berubah sewaktu-waktu.
Wal-Mart: “Melebihi ekspektasi pelanggan” merupakan core value yang tidak berubah. Menyambut pelanggan di depan pintu bukan bagian dari core value, tetapi bentuk pelayanan yang dapat berubah.
Boeing: “Boeing merupakan pemimpin dunia penerbangan; menjadi pionir” adalah core value. Komitmen untuk membuat pesawat jumbo jet bukan bagian dari core value, tetapi merupakan strategi perusahaan pada waktu tertentu yang dapat berubah di masa yang akan datang.
Merck: “Kami bergerak dalam bisnis untuk mempertahankan dan meningkatkan kehidupan manusia” adalah core value! Komitmen untuk melakukan riset mengenai jenis penyakit tertentu bukan merupakan core value, tetapi strategi yang berlaku pada waktu tertentu dan bisa berubah sewaktu perlu.
Thomas J. Watson, CEO IBM, menegaskan pentingnya core value (yang ia ungkapkan dengan kata “belief”; “kepercayaan”) dalam buklet A Business and Its Beliefs (1963). Ia dengan yakin menekankan bahwa untuk dapat eksis, suatu organisasi harus memiliki dasar yang diyakini, yang mendasari semua kebijakan dan tindakan perusahaan. Faktor tunggal terpenting dalam keberhasilan perusahaan adalah ketaatan terhadap kepercayaan tersebut. Kepercayaan itu harus sudah ada sebelum kebijaksanaan, pelaksanaan, dan tujuan ditetapkan. Tujuan harus diubah jika dianggap tidak sesuai dengan kepercayaan yang fundamental itu.
Istilah Watson “belief” dekat dengan judul “Credo” (Latin: “aku percaya”, suatu “syahadat”) yang dipakai Johnson & Johnson untuk filosofinya. Idiom ini membantu pemahaman bahwa core value itu hadir sebagai unsur internal yang independen terhadap lingkungan luar. Selain berarti tidak terpengaruh oleh faktor eksternal, core value tidak bisa ditetapkan dengan menjiplak core value dari perusahaan lain, seberapa pun visionernya perusahaan itu. Atau mencari ide dari buku best-seller manajemen yang mengobral core value yang paling popular atau paling trendy. Yang paling utama dalam menetapkan core value adalah menemukan apa yang secara otentik dipercaya. Tidak peduli pendapat terhadap kepercayaan itu di mata orang luar, melainkan seberapa dalam mereka percaya akan nilai itu dan sejauh mana perusahaan, pemimpin, dan karyawannya konsisten mempercayai, menjiwai, dan melaksanakannya.
Ketika menulis “credo”-nya, Robert W. Johnson, Jr. bukan berpikir tentang teori konseptual yang menggabungkan credo dengan laba, atau karena membaca hal itu dari buku ternama. Ia menulis credo karena perusahaan membutuhkan kepercayaan yang ingin ia pertahankan. George Merck II sangat PERCAYA bahwa obat adalah untuk pasien, dan dia ingin setiap karyawan Merck mempercayai dan menjalankan kepercayaan itu (“Medicine is for the people, profits come later”). Kepercayaannya merupakan jati diri perusahaan yang selayaknya tidak berubah karena memperlihatkan makna dan pendirian mengapa Merck bergerak di bidang farmasi. Core Value haruslah sesuatu yang otentik dan original dari jiwa perusahaan sendiri. Inilah nilai yang harus dipelihara dan dipertahankan di tengah arus perubahan. Perubahan apa pun yang terjadi dalam perusahaan harus dijaga agar tidak bertentangan dengan nilai intrinsik ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment