Wednesday, July 30, 2008
Wal-Mart
Pada tahun 1945, Sam Walton mendirikan lima toko kecil yang kurang menarik. Ia mencanangkan tujuan yang akbar “menjadikan toko Newport kecil saya menjadi yang terbaik, paling menguntungkan di Arkansas dalam waktu lima tahun.” Untuk mencapai tujuan itu, volume penjualan harus ditingkatkan tiga kali lipat, dari $72.000 menjadi $250.000. Toko tersebut berhasil mencapai tujuannya, menjadi yang terbesar, paling menguntungkan di Arkansas, dan menyebar di lima negara bagian lainnya.
Istimewanya, berbeda dari Ford Motor, Walton secara terus-menerus menetapkan BHAG yang baru dalam organisasinya dari satu dekade ke dekade lainnya. Pada tahun 1977, dia menetapkan BHAG untuk mencapai penjualan $1 miliar dalam waktu empat tahun. Wal-Mart tidak berhenti di situ, tetapi terus meneruskan penetapan target lainnya. Pada tahun 1990, Sam Walton menetapkan target baru: menggandakan jumlah toko dan meningkatkan penjualan per feet persegi sebesar 60% pada tahun 2000.
Sony Corporation
Pada tahun 1950-an, produk “Made in Japan” adalah identik dengan produk murah (cheap), produk pasaran (junky), dan bermutu rendah (poor quality). Hingga suatu ketika di akhir 1950-an, Tokyo Tsushin Kogyo (perusahaan relatif kecil dan tidak terkenal di luar negeri) mengambil resiko dengan mengubah nama aslinya menjadi SONY CORPORATION. Apa yang menakjubkan dan menantang dengan ganti nama? Perubahan nama in se tentu bukan hal substansial, tapi per se menunjukkan jati diri perusahaan yang telah siap untuk berperang dalam pasar internasional. Inilah peristiwa besar yang telah melahirkan tujuan besar yang menakjubkan (BHAG). “Kami ingin mengubah image (ke seluruh dunia) yang menganggap produk buatan Jepang sebagai produk rendah kualitas", seru Akio Morita. Ide “gila” lain SONY (begitulah opini orang di luar perusahaan) adalah ketika hendak memproduksi radio saku yang mengaplikasikan teknologi transistor. Pada saat itu transistor merupakan teknologi mahal yang hanya dipakai untuk kepentingan militer.
Itulah common sense; itulah apa yang dipikirkan orang. Ibuka, partner Akio Morita di Sony merespons: “Orang-orang berkata bahwa transistor tidak akan dapat dijadikan produk komersial…. Ini yang justru akan menjadikan bisnis lebih menarik.” Dan kenyataannya, para insinyur Sony sangat senang dengan ide yang menurut orang luar sebagai hal yang bodoh atau tidak mungkin dilakukan oleh perusahaan sekecil Sony. Hasilnya, Sony mampu membuat radio saku dan mewujudkan impiannya mengembangkan produk yang menjadi terkenal di seluruh dunia. Salah satu ilmuwan Sony bahkan memperoleh Hadiah Nobel untuk teknologi pengembangan transistor.
Ford vs General Motors
Pada tahun 1907, Henry Ford mendorong perusahaannya untuk maju dengan BHAG: “Melakukan demokratisasi perusahaan mobil.” Ford menegaskan bahwa untuk memproduksi mobil yang digunakan orang banyak, harganya harus murah supaya terjangkau oleh lebih banyak orang. Pada saat tujuan yang menakjubkan (BHAG) ini dinyatakan, Ford hanyalah pemain kecil dengan sepotong kecil pangsa pasar. Tidak satu pun perusahaan kecil otomobil saat itu yang berani menempatkan diri seperti itu. Ini merupakan ambisi yang tidak masuk akal yang justru member inspirasi bagi seluruh tim perencana mobil Ford untuk bekerja keras. Selama periode itu, General Motors mengalami penurunan pangsa pasar 10%, dan Ford naik ke posisi pertama dalam industri mobil.
Sayangnya, kendati Ford sudah mencapai BHAG untuk melakukan demokratisasi otomobil, Ford tidak MEMBARUI (lihat point ketiga artikel BHAG) atau membuat BHAG pengganti ketika GM kemudian menetapkan serta mencapai BHAG yang setara untuk mengatasi Ford. Ford akhirnya merosot lagi dan kalah karena para karyawan menderita syndrome “kami sudah berhasil” yang menyebabkan kelesuan. Tampak di sini bahwa BHAG hanya membantu selama perusahaan belum mencapainya. Setelah BHAG tercapai, perusahaan harus menetapkan BHAG baru yang tetap masih tidak melenceng dari nilai inti!
Philip Morris vs R.J. Reynolds
Pada tahun 1961, perusahaan rokok R.J. Reynolds memegang pangsa pasar terbesar (hampir 35%), ukuran terbesar, dan profitabilitas tertinggi dalam industri tembakau. Sebaliknya, Philip Morris, berada pada urutan keenam dan hanya menguasai pangsa pasar kurang dari 10%. Tetapi Philip Morris mempunyai dua hal yang tidak dimiliki R.J. Reynolds. Pertama, Philip Morris melakukan reposisi pasar sigaret wanita yang tidak banyak dikenal; Marlboro. Hal ini membuat Marlboro akhirnya menguasai pasar umum sigaret dengan maskot cowboy yang melegenda. Kedua, Philip Morris mempunyai sumberdaya untuk mencapai tujuannya.
Philip Morris diam-diam menetapkan BHAG bagi perusahaan supaya “menjadi General Motors (GM) di industri tembakau”. Di era itu (1960-an), menjadi GM berarti menjadi pemenang tingkat dunia. Philip Morris memegang teguh komitmennya yang bagi banyak kalangan merupakan kesombongan yang bodoh dan tidak realistis. Bagi Philip Morris, komitmennya adalah komitmen Daud ketika memutuskan maju untuk menantang Goliath. Akhirnya Philip Morris berhasil menggeser posisi urutan keenam menjadi kelima, keempat, dan seterusnya hingga mengganti R.J. Reynolds di peringkat pertama. Pada periode itu, R.J. Reynolds tetap menampilkan diri sebagai seorang laki-laki tua yang tidak menarik, murung, dan tidak jelas tujuannya, dan mendorong ambisinya hanya untuk meraih kembalian yang besar bagi pemegang sahamnya.
Big Hairy Audacious Goal (BHAG)
Pengantar
Ketika berbicara tentang strategi atau tujuan jangka panjang perusahaan, lebih umum orang mengaitkannya dengan visi dan misi organisasi. Perbedaan visi dan misi biasanya dijelaskan dengan perbedaan kata “Apa” (untuk visi) dan “Mengapa” (untuk misi). Visi adalah jawaban atas pertanyaan “Apa yang ingin kita capai?” Sedangkan Misi menjawab pertanyaan “Mengapa kita ada dalam bisnis ini?” Misi menjelaskan alasan keberadaan organisasi. Dua hal inilah yang lazimnya dikaitkan bila orang berbicara tentang tujuan organisasi.
Di samping common sense visi dan misi, James C. Collins dan Jerry I. Porras mengangkat gagasan spektakuler tentang pentingnya suatu tujuan yang disebutnya Big Hairy Audacious Goal (BHAG). Berbeda dari visi dan misi, BHAG (baca: bihej) belum banyak dikenal. Jika dipahami latar belakang pemikirannya, BHAG justru lebih sesuai untuk dijadikan tujuan jangka panjang perusahaan. Ide ini disampaikan oleh Collin dan Porras dalam karya bestseller internasional yang fenomenal: Built to Last: Successful Habits of Visionary Companies. Buku ini menduduki Bestseller List di Business Week selama lebih dari delapan belas bulan.
Tidak sedikit orang bertanya-tanya: “Ngapain juga repot dengan rumusan tujuan?” Dan masih ada sekelompok orang yang menganggap rumusan strategi atau tujuan hanyalah formal statement yang selayaknya ada untuk menghiasi dinding kantor karena begitulah tradisi yang berlaku. Mereka berpikir bahwa lebih baik waktu diarahkan untuk memikirkan apa yang bisa dilakukan untuk memajukan bisnis perusahaan. Dua pola pikir ini menjelaskan perbedaan antara jalan pikiran seorang saintis dan filsuf. Sains mencari sebab-sebab terdekat (causa proxima), sementara filsafat mencari sebab-sebab terdalam (causa ultima).
Tulisan kecil ini mau menegaskan betapa pentingnya awareness atas strategi dan tujuan organisasi yang jelas dan terpilah. Mungkin lebih merupakan resensi atas buku Built to Last, karena sebagian besar gagasan diambil dari sana; buku yang membuat saya terus manggut-manggut ketika membacanya. Berikut akan diuraikan selayang pandang hal-ikhwal visi, misi, dan BHAG. Dengan paparan ketiga hal, kiranya menjadi jelas apa yang dimaksudkan dengan tujuan jangka panjang suatu perusahaan (organisasi).
Visi (Vision)
Terminologi “visi” amat problematis karena tidak ada definisi yang disepakati bersama. Collin-Porras lama bergelut dengan istilah “visi”. Bagi mereka, tidak jelas apakah “visi” betul-betul ada. Jika ada, apakah visi itu sebetulnya? Darimana asalnya? Bagaimana organisasi dapat melakukan hal-hal yang visioner? Sejumlah kalangan menganggap visi sebagai bola Kristal yang menggambarkan pasar di masa depan. Yang lain melihatnya berada dalam kerangka teknologi atau visi produk (misalnya Macintosh). Sebagian yang lain (lagi) masih mengaitkan visi dengan nilai, maksud, misi, tujuan, dan citra dari suatu tempat kerja yang ideal. Terkecuali kita sengaja “memaksakan” pemahaman “visi..ya…visi (titik)”, penggalian makna visi sebetulnya lebih membingungkan daripada mendatangkan pencerahan.
Benar bahwa tidak sedikit pakar telah berbicara mengenai “visi”. Burt Nanus dalam bukunya Visionary Leadership, melihat “visi” terdiri dari sedikit pandangan ke depan, sedikit pemahaman mendalam, banyak imajinasi dan penentuan. “Visi” adalah sebuah cita-cita besar yang diyakini bersama. Pengertian “diyakini bersama” mendapat tekanan karena seberapa pun bagusnya suatu visi, tidak akan berarti sama sekali jika hanya terbenam dalam benak pemimpin saja, tanpa dikomunikasikan kepada anggota organisasi. Agaknya “visi” lebih merupakan suatu impian yang hendak dicapai di masa mendatang. Karena masih dalam bentuk impian, gambarannya masih kurang jelas, tapi punya suatu arah tempuh yang kelihatan. Mungkin problematika ini ikut menyebabkan orang kurang menaruh minat serius pada hal satu ini.
Misi (Mission)
Seperti telah dikatakan di atas, “misi” adalah alasan mengapa kita ada; the ground of being dari suatu organisasi. Berbeda dari “visi” yang merupakan impian tentang apa yang mau dicapai ke depan, “misi” mempertanyakan untuk apa suatu organisasi ber-ada; apa peranannya di dunia. Topik ini penting sekali. Dalam beberapa dekade terakhir ini tampak bahwa hal ini telah menyita banyak waktu dan dana banyak perusahaan untuk merancang berbagai visi, misi, nilai, aspirasi dan sebagainya. Telah menjadi trend bagi banyak perusahaan untuk secara formal merumuskan vision statement maupun mission statement-nya. Sayangnya, banyak perusahaan memiliki mission statement, tapi tidak mempunyai a sense of mission. Lagi-lagi pernyataan formal itu hanya tinggal propaganda. Mission yang didukung oleh a sense of mission akan menimbulkan sense tentang arah yang menjadi pedoman bagi perilaku karyawan.
Collin dan Porras melalui riset panjang dan mendalam menemukan bahwa ternyata bukan statement-statement formal (seberapapun bagusnya) yang menentukan suatu perusahaan menjadi perusahaan visioner. Dua pakar ini menegaskan bahwa keberhasilan banyak perusahaan besar di Amerika (beberapa di Jepang) tidaklah disebabkan oleh adanya suatu gagasan yang hebat, atau adanya pemimpin visioner yang karismatis, atau perencanaan strategi yang canggih dan kompleks, atau karena handal melawan kompetitor. Sukses mereka disebabkan oleh dua faktor, yaitu sesuatu yang mendorong kemajuan dan sesuatu yang mempertahankan nilai-nilai dasar (inti). Dua faktor ini berada dalam keseimbangan yang saling mengisi (konsep yin-yang Filsafat Cina). Gagasan ini menggiring kita kepada alternatif visi dan misi: Big Hairy Audacious Goal!
Big Hairy Audacious Goal (BHAG)
Sesuatu yang mendorong kemajuan dalam jangka panjang itu berasal dari tujuan yang disebut Collin-Porras sebagai Big Hairy Audacious Goal; suatu goal yang ambisius, besar, menakjubkan, dan menantang. Dalam bukunya, Collin-Porras menguraikan bahwa:
- BHAG harus jelas dan punya daya dorong untuk bertindak. Tia lebih merupakan suatu "tujuan" daripada "pernyataan"
- BHAG harus mengacu pada kondisi mendesak dan beresiko untuk mencapai suatu tujuan besar dan memberi keyakinan bahwa semua orang yang terlibat mampu mendorong perusahaan mencapai tujuan tersebut dengan usaha heroik dan barangkali sedikit keberuntungan (IBM, Boeing)
- BHAG harus merupakan tujuan yang menantang dan menakjubkan sehingga orang yakin bahwa tujuan perusahaan dapat mendorong kemajuan bersinambung (Citibank, Wal-Mart)
- BHAG harus diperbarui ketika ada gejala (sindrome) "kami sudah berhasil" (eg: Ford di 1920-an) sehingga kemajuan terjadi bersinambung dan tidak terhenti
- BHAG harus konsisten dengan ideologi inti perusahaan
CEO General Electric, Jack Welch dalam upaya merefleksikan tantangan yang dihadapi perusahaan menyatakan bahwa langkah pertama (sebelum langkah-langkah yang lain) adalah “mendefinisikan masa depan secara luas dan jelas. Anda membutuhkan pesan yang menarik perhatian, sesuatu yang besar, tetapi sederhana dan mudah dimengerti.” General Electric merumuskan pesan itu: “Menjadi nomor satu atau nomor dua di setiap pasar yang kami layani dan melakukan revolusi dari perusahaan kecil menjadi perusahaan besar dengan cepat dan tangkas.” Para karyawan GE betul-betul memahami dan mengingat tujuan spektakuler tersebut. Berbeda dari BHAG GE, visi Westinghouse (pesaing pecundang GE) sulit dimengerti dan diingat. “Kualitas Total. Kepemimpinan Pasar. Digerakkan oleh Teknologi Global. Fokus pada Pertumbuhan. Diversifikasi.” Masalahnya bukan bahwa GE punya tujuan yang benar, dan Westinghouse punya tujuan yang salah. Masalahnya adalah bahwa tujuan GE itu jelas, mendorong, dan lebih mendorong kemajuan.
Penutup
Contoh-contoh lain dari keberhasilan BHAG perusahaan-perusahaan visioner dapat disimak dalam tulisan berjudul: BHAG: Success Story. Lambang yin-yang tergambar dalam setiap lembaran pertama semua bab dalam buku Built to Last. Dengan itu Collin-Porras mau tegaskan dalam benak pembaca: “camkan, camkan, dan camkan untuk mendorong kemajuan (BHAG) dan pertahankan nilai-nilai inti (core values) dalam keseimbangan!” Jadi, di samping BHAG, hal penting lain adalah nilai-nilai inti perusahaan. Ini berarti bahwa BHAG yang dibuat tidak sekedar besar dan ambisius, tetapi harus sesuai dengan ideologi inti perusahaan. Tentang nilai-nilai inti akan dibahas dalam tulisan bertajuk: core values.
Louis V. Gestner Jr., CEO penyelemat IBM, dalam buku Who Says Elephants Can't Dance? mengatakan bahwa dalam dirinya (in se) dan dari dirinya (per se), formal statement (visi, misi, BHAG) tidak ada manfaatnya jika hendak digunakan untuk menunjukkan bagaimana mengubah tujuan yang diinginkan menjadi kenyataan. Bagaimana perusahaan dapat mewujudkan tujuan yang dicita-citakan? Saya tawarkan salah satu jalan: Balanced Scorecard!
Tuesday, July 29, 2008
Nyawa Tambahan Manusia
Konon kabarnya, pada suatu ketika, malaikat maut memanggil utusan dari segala makhluk untuk mendengarkan hasil sidang paripurna surgawi. Diputuskan bahwa umur semua makhluk cukup 25 tahun saja. Keputusan ini menuai protes sengit dari utusan manusia. “Gak bisa dong. Mau buat apa dengan umur 25 thn? Pada usia itu, sebagian dari kami baru selesai kuliah atau mulai bekerja, belum sempat nikmati indahnya hidup ini sudah harus berpulang. Gak bisa, gak bisa.”
Utusan kuda maju dan berkata, “Kami tidak ingin berlama-lama hidup di dunia. Manusia selalu mengeksploitasi tenaga kami untuk berperang atau menjadikan kami kuda pedati. Biarlah kami berikan 15 tahun umur kami untuk manusia. Cukuplah 10 tahun kami hidup di dunia."
Umur manusia tambah 15 tahun menjadi 40 tahun. Barangsiapa yang berumur 26-40 tahun, ingatlah bahwa nyawa Anda adalah nyawa kuda. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa di usia itu, manusia harus banting tulang dan berpacu dalam hidup, seperti seekor kuda.
Ternyata manusia belum puas dengan tambahan usia itu dan masih terus memprotes. Melihat itu, sapi dengan langkah pelan maju. “Biarlah kami sumbangkan 15 tahun hidup kami untuk manusia. 10 tahun cukuplah untuk kami. Biasanya juga gak sampai 10 tahun kami telah kehilangan nyawa karena dijadikan sapi potong. Manusia terlalu jahat. Kalau bukan dijadikan alat membajak sawah, kami dijadikan sapi perah. Bahkan ada penyakit yang diberi nama ‘sapi gila’”.
Umur manusia bertambah 15 tahun lagi menjadi 55 tahun. Pada usia ini, umumnya manusia telah melewati usia berpacu dengan hidup atau sudah memiliki penghidupan yang lebih layak. Barangsiapa berumur 41-55, ingatlah bahwa nyawa Anda adalah nyawa sapi. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa di usia itu, manusia harus ‘diperah’ entah oleh pejabat yang korup, oleh suami yang pengangguran atau isteri yang hobbynya shopping melulu, atau oleh anak-anaknya yang nuntut ini-nuntut itu.
Dasar manusia itu makhluk tak kenal puas. Masih belum cukup umur hidup 55 tahun. Manusia masih menggerutu, bahkan mengancam akan mengumpulkan preman untuk demonstrasi. Anjing maju dan berkata lantang, “Berikan saja 15 tahun nyawa kami untuk makhluk yang tak kenal budi itu. Kami juga gak mau hidup lama-lama di dunia. Paling banter kami dijadikan penjaga rumah. Kalo lagi marah pada sesamanya, manusia selalu berteriak: “Anjing kau!” Mereka selalu melecehkan kami”.
Umur manusia bertambah lagi menjadi 70 tahun. Barangsiapa berumur 56-70 tahun, ingatlah bahwa nyawa anda adalah nyawa anjing. Oleh karena itu jangan heran kalo di usia ini Anda berfungsi sebagai penjaga rumah. Kadang dipanggil untuk menjaga rumah anak A yang lagi dinas kerja luar kota, atau rumah anak B yang sedang pesiar ke mancanegara.
Akh, gak tahu lagi istilah yang pantas untuk manusia. Manusia BELUM PUAS JUGA! Mengutip salah satu sajak seniman ternama, utusan manusia berpidato lantang bahwa bahkan kalo bisa manusia mau hidup sampai 1000 tahun lagi. Astaga?! Kali ini terjadilah perdebatan sengit antara malaikat dan manusia. Tiba-tiba utusan monyet menyela, “Sudah, sudah, kasih saja 15 tahun nyawa kami untuk manusia. Mereka juga sangat jahat terhadap kami. Sama seperti terhadap anjing, kalo lagi marah pada temannya, manusia suka berkata: “Hei monyeeeeet!”
Umur manusia bertambah lagi menjadi 85 berkat kebaikan hati monyet. Barangsiapa berumur 71-85 tahun, ingatlah bahwa nyawa Anda adalah nyawa monyet. Seperti halnya monyet melompat dari pohon yang satu ke pohon yang lain, demikian pun Anda, melompat dari rumahsakit yang satu ke rumah sakit yang lain. Salah-salah, Anda jatuh, “mag-gedebuukkk”, terhempas ke tanah.
(Diceritakan oleh: Marco P. Sumampouw, MBA, MSHR/OD, Dosen Manajemen Sumberdaya Manusia, Magister Manajemen Untan, Pontianak)
One Minute Wisdom
Apa itu “kebijaksanaan”? Bahasa Latin menyebutnya sapientia. Kata Latin ini punya kaitan dengan “pengertian”. Makna istilah Anglo-Saxon wisdom dapat disandingkan dengan kata Yunani sophia, yang pada awalnya mengacu kepada seni praktis. Biasanya dikatakan bahwa salah satu fungsi filsafat ialah mencari kebijaksanaan. Orang bisa saja memiliki banyak pengetahuan, namun tanpa kebijaksanaan, dia tetap dianggap orang bodoh yang berilmu. Dalam dunia yang sarat ketidakpastian, kita butuhkan suatu sense of direction. Dan kebijaksanaan menawarkannya. Kebijaksanaan memberi kita keutuhan dalam membantu memilih secara akurat dan atau menolak secara cermat, serta memberi arti kepada eksistensi manusia.
Bila kita mundur ke belakang, kita menemukan akar dari apa yang kita ketahui dalam bentuk data. Data adalah deskripsi dasar dari sesuatu, kejadian, dan aktivitas yang dicatat, diklasifikasi, atau disimpan. Setelah diolah untuk memberikan arti dan nilai bagi penerima, data menjadi informasi. Bila data dan atau informasi ini diolah lagi sehingga dapat menyampaikan pemahaman (understanding), pengalaman (experience), akumulasi pemelajaran (accumulated learning), dan keahlian (expertise), tia menjadi pengetahuan (knowledge). Bila pengetahuan tidak diekspresikan dan dibiarkan berada dalam pikiran individu sendiri, pengetahuannya hanya berupa tacit knowledge. Padahal, pengetahuan adalah anugerah! Karena pengetahuan itu diterima, maka tidak ada alasan untuk tidak memberi. Dengan memberi sebetulnya kita menerima. Maka sangat arif, bila tacit knowledge diekspresikan menjadi explicit knowledge. Moga-moga setelah knowledge itu teruji oleh kajian lebih dalam, tia akan menjadi kebijaksanaan (wisdom). Dengan kata lain, pengetahuan kita di-upgrade menjadi semacam scientia intuitiva (meminjam istilah Baruch Spinoza). Dengannya, kita melihat hal yang prinsipial dari segala sesuatu; melihat yang universal di dalam semua yang partikular.
Dalam blog ini saya menulis aneka buah pikiran berkaitan dengan ilmu manajemen, khususnya manajemen sumberdaya manusia. Di sela kembara pikiran, terkadang terasa perlu suatu penyeimbang terhadap orientasi ilmu ekonomi yang sarat dengan warna ambisi, maksimisasi, eksploitasi, dan sebagainya. Untuk itu saya mencoba memasukkan cerita, pengalaman, atau ajaran dari orang-orang bijak yang dikenal, entah itu dosen, buku, atau kitab-kitab suci agama-agama. Semua tulisan ini dikategorikan dalam Label: One Minute Wisdom. Diharapkan pembaca juga sudi mengirimkan cerita, kisah nyata, entah yang dialami sendiri atau dengar dari pengalaman orang lain, untuk memperkaya kategori ini. Kita bukanlah manusia pertama dan satu-satunya di dunia ini. Pengalaman berharga dari orang lain kiranya dapat menjadi pelajaran bagi hidup kita. Selamat membaca.
Monday, July 28, 2008
The Balanced Scorecard
Pengantar
Era baru kita ditandai dengan arena kompetisi sengit baik dalam kalangan bisnis orientasi laba maupun sektor jasa nirlaba. Globalisasi akan membuka sekat-sekat dunia dan menjadikan dunia baru kita suatu borderless village. Untuk bertahan dalam lingkungan yang kompetitif, manajemen yang baik merupakan faktor yang patut mendapat perhatian. Sederhananya, manajemen berarti segala daya upaya menjalankan perusahaan, dengan bantuan alat-alat yang ada, untuk mencapai sasaran (tujuan) perusahaan. Untuk mencapai tujuan perusahaan, dibutuhkan strategi yang terstruktur dan holistik.
Strategi sebagai konsep tidak lain merupakan rancangan atau blueprint masa depan yang berjangka panjang. Laksana blueprint, dari strategi kita dapat melihat bagaimana perusahaan seharusnya dijalankan. Blueprint denah bangunan menampilkan gambar depan, samping, belakang, dan jumlah lantai. Kita juga dapat melihat apakah bangunan itu bergaya Romawi atau Yunani. Blueprint menawarkan cara untuk memandang rancangan bangunan dari pelbagai perspektif. Demikian pula peranan strategi dalam memberikan rancangan perusahaan. Inti konsep strategi meliputi cara memformulasikan tujuan jangka panjang dan cara-cara untuk mencapainya.
Alat (tool) untuk mencapai tujuan jangka panjang yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah konsep The Balanced Scorecard. Dengan konsep ini, cara mencapai tujuan jangka panjang didasarkan pada tujuan dan aktivitas dalam keempat perspektif yang dilihat secara terstruktur dan holistik, yakni perspektif Financial, Customer, Internal Processes, dan Learning and Growth.
Apa dan Mengapa Balanced Scorecard
Balanced Scorecard didefinisikan sebagai suatu alat manajemen strategik yang dapat membantu organisasi untuk menerjemahkan strategi menjadi aksi dengan memanfaatkan sekumpulan indikator (finansial dan non-finansial) yang terjalin dalam hubungan kausal. Balanced Scorecard merupakan hasil penelitian yang dikembangkan oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton. Hasil penelitian mereka dipublikasikan pada tahun 1992 dalam artikel berjudul “The Balanced Scorecard – Measures that Drive Performance” pada Harvard Business Review.
Dalam Balanced Scorecard terdapat empat perspektif, yakni Financial, Customer, Internal Processes, dan Learning and Growth. Empat perspektif ini (satu perspektif finansial dan tiga perspektif non-finansial) merupakan measurement bagi kinerja perusahaan. Maksud awal ini berubah setelah Kaplan dan Norton menerbitkan buku berjudul The Strategy Focused-Organization . Buku kedua ini menandai perubahan yang terfokus pada konsep Balanced Scorecard sebagai alat untuk mengimplementasikan strategi perusahaan.
Untuk manajemen, Balanced Scorecard memberikan suatu framework untuk mengomunikasikan misi dan strategi organisasi seraya menginspirasi para karyawan untuk mencapai tujuan organisasi. Measurement dalam konsep ini tidak dimaksudkan untuk mengontrol perilaku atau mengevaluasi kinerja masa lampau. Konsep ini lebih ditujukan untuk mengedukasi dan memfasilitasi strategi dalam pencapaian tujuan umum. Dengannya, manajemen diharapkan akan mengidentifikasi dan merespon kebutuhan customer dan mempertahankan improvement yang bersinambung.
Setidaknya dapat disebutkan empat keunggulan Balanced Scorecard. Pertama, konsep ini menawarkan measurement yang lebih holistik dan komprehensif. Di sini Balanced Scorecard menawarkan cara pandang terhadap aspek-aspek perusahaan secara menyeluruh, bukan fragmentaris. Kedua, konsep yang koheren (ada pertalian satu sama lain). Di dalam Balanced Scorecard dikenal istilah hubungan sebab akibat (causal relationship). Setiap perspektif mempunyai suatu sasaran strategik (strategic objective). Sasaran strategis untuk setiap perspektif itu dijelaskan hubungan sebab akibatnya. Ini menjadikan konsep ini memiliki sifat koherensi di antara variabel-variabel pemicu pertumbuhan. Balanced Scorecard menjelaskan dengan baik hubungan kausal keempat perspektif. Ketiga, sesuai dengan namanya, Balanced Scorecard memberikan keseimbangan di antara keempat perspektif yang dijadikan measurement. Keseimbangan sasaran strategik yang dihasilkan dalam empat perspektif meliputi jangka pendek dan panjang yang berfokus pada faktor internal dan eksternal. Keempat, Balanced Scorecard menawarkan pengukuran yang logis. Sasaran strategik keempat perspektif diukur, dikelola, dan dicapai. If we can measure it, we can manage it. If we can manage it, we can achieve it.
Keunggulan-keunggulan ini mendorong banyak perusahaan, baik laba maupun nirlaba, riuh rendah mengimplementasikan Balanced Scorecard. Sejak kelahirannya di tahun 1992, Balanced Scorecard telah diterapkan oleh organisasi pelbagai tipe, ukuran, dan wilayah di permukaan bumi ini. Tahun demi tahun organisasi yang mengisi hall of fame dari Balanced Scorecard semakin banyak, mulai dari perusahaan terkenal seperti Mobil, Cigna, dan Chase. Balanced Scorecard juga diimplementasikan antara lain di organisasi berukuran kecil (Southern Garden Citrus), lembaga pendidikan (University of California), dan rumah sakit (Duke Children’s Hospital). Dalam suatu survey yang diadakan oleh Institute of Management Accountant, ditemukan bahwa 90 responden menyatakan puas dengan implementasi Balanced Scorecard dalam organisasi. Sejak terlahir dari buah pikiran Kaplan dan Norton hingga kini, Balanced Scorecard telah tumbuh luar biasa baik dalam bentuk maupun penerapannya, sehingga dinyatakan sebagai salah satu dari 75 ide bisnis yang paling berpengaruh pada abad ke-20.
Seperti telah dipaparkan sebelumnya, globalisasi yang sangat kuat telah menuntut begitu banyak perubahan sehingga organisasi-organisasi (baik laba maupun nirlaba) yang telah mengalami keberhasilan pada masa lalu, kini menghadapi masa-masa sulit. Sebagian organisasi menghadapi tantangan untuk mencari identitas baru, dan yang lain menghadapi tuntutan perlunya mensinergikan kembali sasaran jangka panjang dan daya-upaya untuk mencapainya. Era baru ini menuntut setiap organisasi untuk mereposisikan eksistensinya menjadi entitas yang dapat survive di dunia global yang sarat dengan kompetisi. Tanpa itu, organisasi yang pernah eksis dan berjaya di masa lalu bisa terancam berjalan stagnan bahkan ambruk dihempas badai globalisasi. Ini masalah dan tantangan yang dihadapi oleh organisasi di era baru globalisasi. Apa yang kini terjadi dan bakal terjadi di hari depan, tidak sama dengan apa yang dipikirkan seharusnya terjadi.
Di samping masalah yang muncul dari kompetisi global, entitas bisnis juga menghadapi masalah internal organisasi sendiri. Satu masalah fundamental yang pantas disebut adalah perumusan strategi. Strategi berkaitan dengan formulasi dan pencapaian tujuan jangka panjang. Banyak orang tidak tahu apa strategi organisasinya. Setelah peta strategi terbentuk, banyak organisasi mengalami masalah dalam menurunkan (cascading) untuk menyelaraskannya (aligning) hingga ke level individu sehingga dapat dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait. Tanpa strategi unggul yang menawarkan kejelasan dalam tujuan jangka panjang dan sarana pencapaiannya, suatu organisasi barangkali terjerat dalam kondisi “hidup segan, mati tak mau”. Tia ibarat kapal yang berlayar tanpa arah, hanya melaju ke depan asalkan tidak menabrak karang.
Di masa lalu bahkan hingga dewasa ini, tidak sedikit perusahaan yang mengukur keberhasilan manajemen hanya semata berdasarkan kinerja finansial. Ini juga merupakan masalah umum kebanyakan organisasi. Menurut Kaplan dan Norton, tidaklah tepat menjadikan perspektif finansial sebagai satu-satunya kriteria untuk menilai kinerja perusahaan. Hal ini digambarkan dengan analogi naik pesawat yang hanya terdiri dari meteran kecepatan, tanpa meteran lain, misalnya untuk mengukur kelembaban udara, suhu, ketinggian, persediaan bahan bakar dan sebagainya. Kondisi seperti ini menyebabkan organisasi seringkali bias dalam menilai kinerja dan kekurangan sarana untuk sampai pada tujuannya.
Pengukuran kinerja yang semata-mata didasarkan pada perspektif finansial (financial husbandary) tidak cukup, dan menimbulkan masalah yang dapat membahayakan kinerja itu sendiri karena beberapa alasan. Pertama, hal itu dapat mendorong tindakan jangka pendek yang tidak sesuai dengan rencana jangka panjang perusahaan. Mencapai tujuan jangka pendek dengan melupakan tujuan jangka panjang hanya membuat perusahaan berjalan zig-zag saja. Tujuan jangka pendek seharusnya diperlakukan sebagai milestones untuk menuju tujuan jangka panjang. Karena tekanan beban untuk mengejar kinerja keuangan, manajer lini (divisi) mungkin tidak mempedulikan tujuan jangka panjang agar memperoleh laba instan jangka pendek. Kedua, menggunakan laba jangka pendek sebagai satu-satunya tujuan dapat mendistorsi komunikasi antara manajer lini dan manajer puncak. Dan akhirnya, pengendalian keuangan yang ketat dapat mendorong manajer untuk memanipulasi data. Dari masalah ini disimpulkan perlunya measurement yang komprehensif untuk perspektif finansial maupun non-finansial. Masalah yang ditemukan dalam banyak organisasi bisnis inilah cikal-bakal lahirnya konsep Balanced Scorecard. Keempat perspektif dalam Balanced Scorecard harus dilihat dan diukur sebagai suatu sistem yang terstruktur dan holistik. Kinerja keuangan sejatinya lebih merupakan akibat atau hasil dari kinerja non-finansial (Customer,Internal Processes, dan Learning and Growth).
Revolusi untuk Relevansi
Konsep Balanced Scorecard yang dikembangkan Kaplan dan Norton pada tahun 1992 tetap relevan untuk diimplementasikan. Kaplan dan Norton sendiri secara bersinambung meng-update teorinya hingga kini. Dalam buku keempat berjudul Alignment (terbit 2006), Kaplan dan Norton melukiskan napak-tilas konsep Balanced Scorecard yang terus ber-revolusi untuk menjawab perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan.
Konsep awal lahir dari artikel pertama berjudul “The Balanced Scorecard: Measures That Drive Performance” dan buku pertama berjudul The Balanced Scorecard: Translating Strategy into Action. Dua karya ini memperkenalkan pendekatan baru untuk mengukur kinerja organisasi. Konsep awal ini menyediakan arahan dan contoh-contoh untuk memilih ukuran dalam keempat perspektif Balanced Scorecard.
Episode kedua adalah artikel “Using the Balanced Scorecard as a Strategic Management System” dan buku The Strategy-Focused Organization yang mengubah fokus Balanced Scorecard dari alat pengukuran kinerja menjadi alat untuk mengimplementasikan strategi organisasi. Dalam buku kedua ini, Kaplan & Norton mengidentifikasi lima prinsip yang berhasil diterapkan perusahaan, yakni: Mobilize, Translate, Align, Motivate, dan Govern.
Revolusi berikutnya terungkap dalam buku ketiga Strategy Maps dan artikel “Having Trouble with Your Strategy? Then Map It” . Di sini diuraikan bagaimana menerjemahkan strategi menjadi tujuan dan ukuran yang berwujud (tangible). Gagasan ini merupakan penjelasan detail dari prinsip kedua; Translate. Intinya adalah memperkenalkan suatu kerangka kerja umum untuk merepresentasikan strategi melalui tujuan-tujuan spesifik yang dapat dikaitkan dengan hubungan sebab-akibat di antara ukuran-ukuran keempat perspektif. Dalam episode ini, penulis dengan tegas menyampaikan bahwa eksekusi yang konsisten dari strategi perusahaan jauh lebih penting daripada kualitas strategi itu sendiri.
Masih dalam thema yang sama, Kaplan dan Norton pada tahun 2006 menerbitkan buku terbaru berjudul Alignment yang menjelaskan prinsip ketiga dan keempat; Align dan motivate. Di sini preposisi Kaplan dan Norton didasarkan pada pemahaman bahwa sebagian besar organisasi terdiri atas beberapa divisi dan unit pendukung. Masing-masing divisi mempunyai staf dan eksekutif handal. Tapi sering upaya setiap unit tidak terkoordinasi dengan baik yang akhirnya menimbulkan konflik, hilangnya kesempatan, dan menurunnya kinerja usaha secara keseluruhan. Oleh karena itu, penulis menekankan tanggung jawab penyelarasan (alignment) pada manajemen puncak dengan secara eksplisit mendefinisikan peranannya dalam menetapkan, mengkoordinasi, dan memonitor strategi organisasi. Sasaran akhir yang diharapkan dari penyelarasan adalah terjadinya efek sinergi: penggabungan dari pelbagai komponen yang ada, yang akan menghasilkan hal yang jauh lebih besar daripada penjumlahan masing-masing individu.
Buku terbaru Kaplan & Norton, The Execution Premium, mendalami prinsip kelima; Govern untuk membuat strategi menjadi suatu proses yang bersinambung. Karya terbaru ini merupakan sintesa komprehensif sistem manajemen yang mengombinasikan strategi dan operasi. Di samping itu, karya terbaru ini juga menguraikan integrasi yang luas atas pelbagai tool manajemen yang telah terbukti berdaya-guna, seperti statement visi-misi, formulasi strategi, target-setting, dynamic budgeting and resources allocation, process improvement, quality methodologies, dan lain-lain.
Perusahaan-perusahaan yang tergolong di dalam Hall of Fame Balanced Scorecard telah menunjukkan bahwa strategi dapat dijalankan dengan sukses. Dengan percaya diri Kaplan dan Norton menekankan bahwa bila semua esensi dari buku-buku dan artikel yang telah mereka terbitkan sebelumnya dijalankan secara disiplin dan konsisten, akan tersedia fondasi untuk suatu ilmu baru dalam manajemen strategi.
Lianto
Sunday, July 27, 2008
Aktualisasi Teori Motivasi Abraham Maslow Untuk Peningkatan Kinerja
1. PENDAHULUAN
Setelah suatu perusahaan memperoleh tenaga kerja, melatih mereka, dan kemudian memberikan pengupahan yang layak dan adil, tugas pemimpin perusahaan (manajer) belum selesai. Dalam kenyataan, tidak selalu seseorang yang telah digaji cukup akan merasa puas dengan pekerjaannya. Banyak faktor (di samping gaji) yang menyebabkan orang merasa puas atau tidak puas bekerja pada suatu organisasi. Seorang manajer adalah orang yang bekerja dengan bantuan orang lain. Ia tidak menjalankan semua pekerjaan sendirian saja, melainkan mengarahkan orang lain dalam tim untuk melaksanakannya. Jika tugas yang diarahkan tidak dapat dilaksanakan oleh karyawannya, seorang manajer harus mengetahui sebab-sebabnya. Mungkin karyawan yang bersangkutan memang tidak kompeten di bidangnya, tetapi mungkin pula ia tidak mempunyai motivasi untuk bekerja dengan baik.
Dari kenyataan ini, penulis melihat bahwa motivasi merupakan unsur hakiki dalam integrasi antara pribadi individu (dalam hal ini karyawan perusahaan) dan tujuan organisasi. Dalam konteks ini, pemberian motivasi merupakan salah satu fungsi dan tugas dari seorang manajer. Ia harus mampu memotivasi individu-individu yang terlibat untuk dapat memberikan kinerja yang optimal demi pencapaian tujuan organisasi.
Sebagaimana telah jelas dari judul makalah ini, teori yang dibahas di sini adalah teori motivasi tentang hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow. Dalam makalah ini, teori Maslow akan menjadi titik tolak dan landasan pemikiran bagi gagasan tentang penemuan motivasi untuk peningkatan kinerja individu dalam organisasi. Tidak disangkal bahwa dewasa ini muncul pelbagai kritik tentang validitas teori ini . Namun sebagai konsep dasar bagi pengenalan struktur pribadi individu dan pelbagai faktor yang mendorong orang melakukan sesuatu, teori ini masih bisa bergema keras. Stephen P. Robbins, dalam buku Perilaku Organisasi, menulis bahwa “meskipun dikritik habis-habisan..., agaknya [teori Maslow] masih merupakan penjelasan yang paling baik soal motivasi karyawan”. Teori-teori lain yang muncul setelah teori Maslow lebih merupakan penyempurnaan dan penyesuaian daripada penemuan suatu teori yang betul-betul baru. Dari telaah filosofis, dengan kelebihan maupun kelemahan teorinya, Maslow telah berhasil mencetuskan pemikiran yang amat bermanfaat. Kelebihan dari teorinya jelas memberikan sumbangan besar dalam pengetahuan tentang motivasi dan kepribadian manusia. Dan kelemahan teorinya serta-merta tetap berguna karena telah memberikan atau memancing feedback bagi pemikir-pemikir selanjutnya untuk memperbaiki dan menyempurnakannya.
Berhubung tulisan ini merupakan makalah kecil, maka penulis perlu membuat pembatasan tema. Untuk mencegah perluasan pembahasan yang terlalu jauh, penulis membatasi diri pada pembahasan teori Maslow tentang motivasi. Teori-teori lain, seperti teori X dan Y dari McGregor, Motivasi Higiene dari Herzberg, teori ERG dari Alderfer, dan lain-lain, dirujuk dan dibahas sesekali hanya sebagai pembanding dan pelengkap argumen.
2. TEORI ABRAHAM MASLOW TENTANG MOTIVASI
2.1 Terminologi “Motivasi”
Apa itu “motivasi”? Ditinjau dari etimologinya, “motivasi” berasal dari kata Latin motivus atau motum yang berarti menggerakkan atau memindahkan. Dari asal-usul kata ini, Lorens Bagus, dalam Kamus Filsafat, mengartikan motivasi atau motif sebagai dorongan sadar dari suatu tindakan untuk merumuskan kebutuhan-kebutuhan tertentu manusia. Motivasi memainkan peranan penting dalam menilai tindakan manusia, karena pada motif-motif itulah terkandung arti subyektif dari tindakan tertentu bagi orang tertentu.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan motivasi sebagai “usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendaki atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya”.
Menurut Stephen P. Robbins, motivasi adalah “proses yang ikut menentukan intensitas, arah, dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran”. Tiga kata kunci dalam definisi ini adalah intensitas, arah, dan ketekunan (yang mengandaikan berlangsung lama). Intensitas dimaksudkan seberapa keras seseorang berusaha. Agar dapat menghasilkan kinerja yang baik, intensitas (setinggi apa pun) harus mempunyai arah yang menguntungkan organisasi. Dan akhirnya, intensitas dan arah yang telah dimiliki harus diterapkan secara tekun dan berlangsung lama. Inilah ukuran sejauh mana orang dapat mempertahankan usahanya. Individu yang termotivasi akan tetap bertahan dengan pekerjaannya dalam waktu cukup lama untuk mencapai sasaran mereka. Sebaliknya, seseorang yang tidak termotivasi hanya akan memberikan upaya minimum dalam hal bekerja. Konsep motivasi kiranya merupakan sebuah konsep penting dalam studi tentang kinerja individu dalam organisasi. Dengan kata lain, motivasi merupakan salah satu determinan penting bagi kinerja individual di samping variabel determinan lain misalnya kemampuan orang yang bersangkutan dan atau pengalaman kerja sebelumnya.
2.2 Sekilas Tentang Abraham Maslow
Abraham Maslow dilahirkan pada tahun 1908 dalam keluarga imigran Rusia-Yahudi di Brooklyn, New York. Ia seorang yang pemalu, neurotik, dan depresif namun memiliki rasa ingin tahu yang besar dan kecerdasan otak yang luar biasa. Dengan IQ 195, ia unggul di sekolah.
Ketika beranjak remaja, Maslow mulai mengagumi karya para filsuf seperti Alfred North Whitehead, Henri Bergson, Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, Plato, dan Baruch Spinoza. Di samping berkutat dalam kegiatan kognitif, ia juga mempunyai banyak pengalaman praktis. Ia bekerja sebagai pengantar koran dan menghabiskan liburan dengan bekerja pada perusahaan keluarga.
Maslow hidup dalam zaman di mana bermunculan banyak aliran psikologi yang baru tumbuh sebagai disiplin ilmu yang relatif muda. Di Amerika William James mengembangkan Fungsionalisme, Psikologi Gestalt berkembang di Jerman, Sigmund Freud berjaya di Wina, dan John B. Watson mempopulerkan Behaviorisme di Amerika. Ketika pada tahun 1954 Maslow menerbitkan bukunya yang berjudul Motivation and Personality, dua teori yang sangat populer dan berpengaruh di universitas-universitas Amerika adalah Psikoanalisia Sigmund Freud dan Behaviorisme John B. Watson.
Dalam ranah psikologi, Psikoanalisa Freud dianggap mazhab (force) pertama. Sedangkan Behaviorisme disebut mazhab kedua. Agaknya Maslow (kendati pernah mengagumi kedua aliran tersebut) mempunyai prinsip yang berbeda. Sampel penelitian Freud adalah pasien-pasien neurotis dan psikotis di kliniknya. Pertanyaan kita adalah: bagaimana kesimpulan dari sampel orang-orang yang terganggu jiwanya dapat diterapkan pada orang-orang pada umumnya (yang sehat mental). Maslow mempunyai prinsip bahwa sebelum mengerti penyakit mental, orang harus terlebih dahulu memahami kesehatan mental. Di kutub lain, kaum Behavioris menghimpun data dari penelitian atas binatang seperti burung merpati dan tikus putih. Maslow melihat bahwa kesimpulan mereka bisa jadi berlaku bagi ikan, katak, atau tikus, tetapi tidak untuk bangsa manusia. Berlawanan secara radikal dengan kedua aliran tersebut, Maslow mencari sampel pada manusia-manusia yang dalam masyarakat dilihat sebagai “tokoh”. Ia melibatkan penelitiannya terhadap tujuh tokoh modern dan sembilan tokoh sejarah: Abraham Lincoln dan Thomas Jefferson (presiden AS), Eleanor Roosevelt (First Lady yang dermawan), Jane Addams (pelopor pekerja sosial), William James (psikolog), Albert Schweitzer (dokter dan humanis), Aldous Huxley (penulis), dan Baruch Spinoza (filsuf). Penyelidikan tentang tokoh-tokoh ini (dan yang lainnya) -kebiasaan, sifat, kepribadian, dan kemampuan mereka- telah mengantar Maslow sampai pada teori tentang kesehatan mental dan teori tentang motivasi pada manusia. Secara dialektis, tesis Freud dan antitesis Watson dkk. melahirkan sintesis Abraham Maslow. Oleh karena itu, Maslow menyebut teorinya sebagai mazhab ketiga.
2.3 Proposisi Maslow atas Teori Motivasi
Sebelum menguraikan teori tentang Hirarki Kebutuhan, Maslow dalam karya masyhurnya, Motivation and Personality, memaparkan terlebih dahulu sejumlah proposisi yang harus diperhatikan sebelum seseorang menyusun sebuah teori motivasi yang sehat. Maslow mengakui sendiri bahwa sejumlah proposisi sangat benar dalam arti dapat diterima oleh banyak kalangan. Sejumlah proposisi lain barangkali kurang dapat diterima dan dapat diperdebatkan. Hal ini mencerminkan kelegowoan Maslow untuk tidak begitu saja memutlakkan teorinya. Berhubung teori ini berkenaan dengan manusia yang dinamis multidimensional, lumrah kiranya bahwa pandangan tertentu kurang universal. Berikut ini sejumlah proposisi awal untuk memahami jalan pikiran Maslow.
2.3.1 Individu sebagai Kesatuan Terpadu
Maslow pertama-tama menekankan bahwa individu merupakan kesatuan yang terpadu dan terorganisasi. Pernyataan ini hampir menjadi aksioma yang diterima oleh semua orang, yang kemudian sering dilupakan dan diabaikan tatkala seseorang melakukan penelitian. Penting sekali untuk selalu disadarkan kembali hal ini sebelum seseorang melakukan eksperimen atau menyusun suatu teori motivasi yang sehat. Maslow memberikan contoh: yang membutuhkan makanan bukanlah perut John Smith semata-mata, melainkan seluruh individu John Smith sebagai kesatuan. Dengan kata lain, makanan akan memuaskan rasa lapar John Smith, dan bukan rasa lapar pada perut John Smith.
2.3.2 Cara dan Tujuan
Bila kita telisik keinginan dalam pengalaman sehari-hari, hal penting untuk disadari adalah pembedaan antara cara dan tujuan. Kebutuhan-kebutuhan biasanya lebih merupakan cara atau sarana bagi suatu tujuan dan bukan tujuan itu sendiri. Misalnya kita menginginkan atau membutuhkan uang agar dapat membeli mobil. Analisis selanjutnya menunjukkan bahwa kita menginginkan mobil karena para tetangga memilikinya dan kita tidak ingin merasa kurang daripada mereka. Rupanya ini soal harga diri dan kebutuhan untuk dihormati. Kita dapati bahwa ada gejala dan ada pula arti di balik gejala, yakni apa yang sesungguhnya menjadi tujuan yang lebih dasariah pada akhirnya. Intinya kita harus menemukan tujuan terdalam seseorang ketika menginginkan sesuatu bila tidak ingin terjatuh dalam pemuasan kebutuhan yang tidak tepat sasaran. Tujuan-tujuan lebih universal daripada cara-cara yang ditempuh untuk mencapainya. Karena faktor budaya, bisa saja tujuan yang sama, misalnya harga diri, dicapai individu dalam masyarakat tertentu dengan menjadi prajurit, dan dalam masyarakat yang lain dicapai dengan menjadi dokter. Karena perbedaan perilaku individu dalam pemuasan kebutuhan tersebut, orang seringkali membuat pembedaan atas tujuan yang sebetulnya sama. Meskipun beragam budaya, sebetulnya umat manusia lebih banyak serupa daripada yang terlihat dan disangka banyak orang.
2.3.3 Motivasi Ganda
Seseorang bisa jadi dapat menjelaskan motivasi tertentu yang mendasari perilakunya. Namun tidak jarang terdapat pula aneka motivasi lain yang barangkali tidak disadari dan dikira oleh individu itu. Satu gejala sekaligus dapat menggambarkan bermacam-macam keinginan yang berbeda-beda, bahkan juga kepentingan-kepentingan yang bertentangan satu sama lain. Teori motivasi yang sehat tidak boleh mengabaikan aspek kehidupan alam bawah sadar. Gejala psikopatologis kelumpuhan, misalnya, dapat menggambarkan dipenuhinya sekaligus keinginan akan balas dendam, dikasihani, dan dihormati. Jika gejala ini hanya dilihat sebagai gejala lahiriah tanpa menelaah kemungkinan keinginan atau motivasi bawah sadar, berarti kita telah semena-mena meniadakan kemungkinan untuk memahami seluruh perilaku dan keadaan motivasional seorang individu.
2.3.4 Tata Hubungan Motivasi
Manusia adalah makhluk yang punya keinginan dan jarang mencapai keadaan puas sepenuhnya kecuali untuk waktu yang singkat. Apabila keinginan yang satu telah terpenuhi, keinginan lainnya akan timbul menggantikan keinginan sebelumnya. Jika keinginan itu pun terpenuhi, masih ada keinginan lainnya yang akan menyusul, dan begitu seterusnya. Kenyataan ini menuntut kita untuk menelaah tata hubungan semua motivasi satu sama lain. Pada saat yang sama, kita juga harus melepaskan unit-unit motivasi yang tersendiri untuk mencapai pengertian lebih luas yang dicari.
2.3.5 Tolak Daftar Dorongan Dikotomis
Tidak ada gunanya membuat daftar dorongan-dorongan (stimulus) yang muncul. Dorongan-dorongan satu sama lain bukanlah hal-hal yang terpilah-pilah. Pendaftaran dorongan secara dikotomis mengabaikan sifat dinamis dari dorongan-dorongan itu, misalnya bahwa segi-segi kesadaran dan ketidaksadaran mungkin berbeda-beda, atau bahwa suatu keinginan tertentu sebenarnya dapat merupakan suatu saluran bagi pengungkapan berbagai keinginan lainnya, dan sebagainya. Pada kenyataannya, dorongan-dorongan juga tidak mengelompokkan diri secara aritmetik dan tersendiri dengan ciri-ciri tersendiri. Biasanya terdapat suatu tumpang-tindih, sehingga hampir tidak mungkin secara jelas dan tajam memisahkan dorongan yang satu dari yang lain.
2.3.6 Lingkungan
Aspek yang satu ini tidak boleh dilupakan. Setiap teori motivasi dengan sendirinya harus memperhitungkan fakta pengaruh lingkungan. Motivasi manusia jarang mewujudkan diri dalam suatu perilaku yang lepas dari situasi dan dengan orang-orang lain. Namun pengakuan akan pengaruh situasi lingkungan hendaknya tidak berlebihan, karena pusat telaah kita tetaplah organisme atau struktur watak dari individu. Teori motivasi yang sehat harus mempertimbangkan situasi, tetapi jangan terjebak ke dalam teori situasi murni. Telaah tentang motivasi jangan meniadakan atau menyangkal telaah tentang penentu-penentu situasional. Di lain sisi, telaah motivasi jangan pula melupakan sifat intrinsik organisme demi kepentingan pemahaman dunia di mana organisme itu hidup.
2.3.7 Kemungkinan Mencapai Hasil
Maslow, sebagaimana juga J. Dewey dan Thorndike, menekankan aspek motivasi yang sering diabaikan kebanyakan psikolog, yakni kemungkinan. Pada umumnya secara sadar kita mendambakan apa yang menurut pikiran kita dapat dicapai. Bila penghasilan seseorang bertambah, ia sadar bahwa dirinya secara aktif mengharapkan untuk memperoleh hal-hal yang diidamkan beberapa tahun sebelumnya. Bila rata-rata orang mendambakan mobil dan rumah, hal itu lumrah dan merupakan kemungkinan yang nyata. Mereka tidak mendambakan pesawat jet atau kapal pesiar karena barang-barang itu ada di luar jangkauan rata-rata kemampuannya. Mungkin sekali bahwa secara tidak sadar pun ia tidak mendambakannya. Faktor kemungkinan untuk mencapai hasil ini penting diperhatikan dalam usaha memahami perbedaan motivasi di antara berbagai kelas dalam masyarakat atau antara individu-individu dari negara atau kebudayaan yang berbeda-beda.
2.3.8 Pengetahuan Mengenai Motivasi Sehat
Proposisi ini merupakan nilai lebih dari pandangan Maslow dibandingkan dengan kedua mazhab psikologi sebelumnya. Boleh dikatakan bahwa hal berikut merupakan kritik Maslow atas sampel penelitian mereka. Menurut Maslow, sebagian besar ahli motivasi mendapatkan data dari para psikoterapis yang sedang merawat pasien. Pasien-pasien itu merupakan sumber kekeliruan yang besar karena mereka merupakan contoh yang kurang baik dari suatu populasi. Sebagai asas sekali pun, kehidupan motivasional para penderita gangguan emosi harus ditolak sebagai contoh bagi motivasi sehat. Teori motivasi yang sehat sepatutnya merupakan kesimpulan dari penelitian atas orang-orang yang sehat pula. Oleh karena itu, sampel penelitian Maslow adalah orang-orang yang ternama dalam sejarah manusia.
2.4 Teori Motivasi Abraham Maslow: Hirarki Kebutuhan
Maslow mengembangkan teori tentang bagaimana semua motivasi saling berkaitan. Ia menyebut teorinya sebagai “hirarki kebutuhan”. Kebutuhan ini mempunyai tingkat yang berbeda-beda. Ketika satu tingkat kebutuhan terpenuhi atau mendominasi, orang tidak lagi mendapat motivasi dari kebutuhan tersebut. Selanjutnya orang akan berusaha memenuhi kebutuhan tingkat berikutnya. Maslow membagi tingkat kebutuhan manusia menjadi sebagai berikut:
- Kebutuhan fisiologis: kebutuhan yang dasariah, misalnya rasa lapar, haus, tempat berteduh, seks, tidur, oksigen, dan kebutuhan jasmani lainnya.
- Kebutuhan akan rasa aman: mencakup antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional.
- Kebutuhan sosial: mencakup kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki, kasih sayang, diterima-baik, dan persahabatan.
- Kebutuhan akan penghargaan: mencakup faktor penghormatan internal seperti harga diri, otonomi, dan prestasi; serta faktor eksternal seperti status, pengakuan, dan perhatian.
- Kebutuhan akan aktualisasi diri: mencakup hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya.
Bagaimana identifikasi atas tiap kebutuhan di atas dan dampaknya terhadap motivasi yang mempengaruhi kinerja individu dalam organisasi akan dijelaskan dalam berikutnya.
3. IDENTIFIKASI HIRARKI KEBUTUHAN DAN APLIKASI MANAJEMEN
3.1 Kebutuhan Fisiologis
3.1.1 Identifikasi Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan manusia yang paling mendasar untuk mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan akan makanan, minuman, tempat tinggal, seks, tidur, istirahat, dan udara. Seseorang yang mengalami kekurangan makanan, harga diri, dan cinta, pertama-tama akan mencari makanan terlebih dahulu. Bagi orang yang berada dalam keadaan lapar berat dan membahayakan, tak ada minat lain kecuali makanan. Bagi masyarakat sejahtera jenis-jenis kebutuhan ini umumnya telah terpenuhi. Ketika kebutuhan dasar ini terpuaskan, dengan segera kebutuhan-kebutuhan lain (yang lebih tinggi tingkatnya) akan muncul dan mendominasi perilaku manusia.
Tak teragukan lagi bahwa kebutuhan fisiologis ini adalah kebutuhan yang paling kuat dan mendesak. Ini berarti bahwa pada diri manusia yang sangat merasa kekurangan segala-galanya dalam kehidupannya, besar sekali kemungkinan bahwa motivasi yang paling besar ialah kebutuhan fisiologis dan bukan yang lain-lainnya. Dengan kata lain, seorang individu yang melarat kehidupannya, mungkin sekali akan selalu termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan ini.
3.1.2 Aplikasi Manajemen
Pertama-tama harus selalu diingat bahwa bagi orang yang sangat kelaparan, tidak ada perhatian lain kecuali makanan. Seorang pemimpin atau manajer jangan berharap terlalu banyak dari karyawan yang kelaparan. Berbeda dari kebutuhan-kebutuhan tingkat berikutnya, kebutuhan pokok ini hanya bisa dipenuhi oleh pemicu kekurangannya. Rasa lapar hanya dapat dipuaskan dengan makanan. Jangan berharap bahwa nasihat dan petuah saleh dapat memuaskannya. Maslow menggambarkan bahwa bagi manusia yang selalu dan sangat kelaparan atau kehausan, utopia dapat dirumuskan sebagai suatu tempat yang penuh makanan dan minuman. Ia cenderung berpikir bahwa seandainya makanannya terjamin sepanjang hidupnya, maka sempurnalah kebahagiaannya. Orang seperti itu hanya hidup untuk makan saja. Untuk memotivasi kinerja karyawan seperti ini, tentu saja makanan solusinya. Tunjangan ekstra untuk konsumsi akan lebih menggerakkan semangat kerja orang seperti ini dibandingkan dengan nasehat tentang integritas individu dalam organisasi.
Elton Mayo dari Harvard Graduate School of Business Administration pada tahun 1923 melakukan penelitian di sebuah pabrik tekstil di Philadelphia. Ia ingin menemukan penyebab terjadinya pergantian tenaga kerja yang terlalu sering di salah satu bagian produksi di mana pekerjaan yang dilakukan lumayan sukar dan monoton. Ia bertolak dari asumsi kelelahan tenaga kerja dan kebutuhan akan waktu istirahat. Maka ia menjadwalkan serangkaian waktu istirahat. Para karyawan diminta bekerja sama dalam menetapkan jadwal. Hasil yang diperoleh cukup fantastis: pergantian karyawan menurun drastis, produktivitas meningkat, dan semangat kerja menjadi lebih baik. Mayo secara tepat menemukan apa yang dibutuhkan karyawan, yakni waktu istirahat dan penghargaan diri karena memberikan kesempatan kepada mereka untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan yang biasanya menjadi monopoli pimpinan perusahaan. Dengan satu panah, Mayo membidik dua burung; dua kebutuhan terpenuhi dalam waktu yang sama.
3.2 Kebutuhan Rasa Aman
3.2.1 Identifikasi Kebutuhan Rasa Aman
Segera setelah kebutuhan dasariah terpuaskan, muncullah apa yang digambarkan Maslow sebagai kebutuhan akan rasa aman atau keselamatan. Kebutuhan ini menampilkan diri dalam kategori kebutuhan akan kemantapan, perlindungan, kebebasan dari rasa takut, cemas dan kekalutan; kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas, dan sebagainya. Kebutuhan ini dapat kita amati pada seorang anak. Biasanya seorang anak membutuhkan suatu dunia atau lingkungan yang dapat diramalkan. Seorang anak menyukai konsistensi dan kerutinan sampai batas-batas tertentu. Jika hal-hal itu tidak ditemukan maka ia akan menjadi cemas dan merasa tidak aman. Orang yang merasa tidak aman memiliki kebutuhan akan keteraturan dan stabilitas serta akan berusaha keras menghindari hal-hal yang bersifat asing dan tidak diharapkan.
3.2.2 Aplikasi Manajemen
Dalam konteks perilaku kinerja individu dalam organisasi, kebutuhan akan rasa aman menampilkan diri dalam perilaku preferensi individu akan dunia kerja yang adem-ayem, aman, tertib, teramalkan, taat-hukum, teratur, dapat diandalkan, dan di mana tidak terjadi hal-hal yang tak disangka-sangka, kacau, kalut, atau berbahaya. Untuk dapat memotivasi karyawannya, seorang manajer harus memahami apa yang menjadi kebutuhan karyawannya. Bila yang mereka butuhkan adalah rasa aman dalam kerja, kinerja mereka akan termotivasi oleh tawaran keamanan. Pemahaman akan tingkat kebutuhan ini juga dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa karyawan tertentu tidak suka inovasi baru dan cenderung meneruskan apa yang telah berjalan. Atau dipakai untuk memahami mengapa orang tertentu lebih berani menempuh resiko, sedangkan yang lain tidak.
Dalam organisasi, kita seringkali mendapati perilaku individu yang berusaha mencari batas-batas perilaku yang diperkenankan (permisible behavior). Ia menginginkan kebebasan dalam batas tertentu daripada kebebasan yang tanpa batas. Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang batas-batas perilaku yang diterima bagi dirinya sendiri dapat mempunyai perasaan terancam. Agaknya ia akan berupaya untuk menemukan batas-batas seperti itu, sekalipun pada saat-saat tertentu, ia harus berperilaku dengan cara-cara yang tidak dapat diterima. Para manajer dapat mengakomodasi kebutuhan akan rasa aman dalam organisasi dengan jalan membentuk dan memaksakan standar-standar perilaku yang jelas. Penting dicatat juga bahwa perasaan manusia tentang keamanan juga terancam apabila ia merasa tergantung pada pihak lain. Ia merasa bahwa ia akan kehilangan kepastian bila tanpa sengaja melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki. Individu yang berada dalam hubungan dependen seperti itu akan merasa bahwa kebutuhan terbesarnya adalah jaminan dan proteksi. Hampir setiap individu dalam tingkat kebutuhan ini akan menginginkan ketenteraman, supervisi, dan peluang kerja yang bersinambung.
Dewasa ini marak wacana adanya kemungkinan para karyawan di-PHK karena faktor teknologi yang berkembang. Dalam situasi ini, manajer dapat memotivasi karyawan dengan jalan memberikan suatu jaminan kepastian jabatan (job-security-pledge).
3.3 Kebutuhan Sosial
3.3.1 Identifikasi Kebutuhan Sosial
Setelah terpuaskan kebutuhan akan rasa aman, maka kebutuhan sosial yang mencakup kebutuhan akan rasa memiliki-dimiliki, saling percaya, cinta, dan kasih sayang akan menjadi motivator penting bagi perilaku. Pada tingkat kebutuhan ini, dan belum pernah sebelumnya, orang akan sangat merasakan tiadanya sahabat, kekasih, isteri, suami, atau anak-anak. Ia haus akan relasi yang penuh arti dan penuh kasih dengan orang lain pada umumnya. Ia membutuhkan terutama tempat (peranan) di tengah kelompok atau lingkungannya, dan akan berusaha keras untuk mencapai dan mempertahankannya. Orang di posisi kebutuhan ini bahkan mungkin telah lupa bahwa tatkala masih memuaskan kebutuhan akan makanan, ia pernah meremehkan cinta sebagai hal yang tidak nyata, tidak perlu, dan tidak penting. Sekarang ia akan sangat merasakan perihnya rasa kesepian itu, pengucilan sosial, penolakan, tiadanya keramahan, dan keadaan yang tak menentu.
3.3.2 Aplikasi Manajemen
Individu dalam organisasi menginginkan dirinya tergolong pada kelompok tertentu. Ia ingin berasosiasi dengan rekan lain, diterima, berbagi, dan menerima sikap persahabatan dan afeksi. Walaupun banyak manajer dewasa ini memahami adanya kebutuhan demikian, kadang mereka secara keliru menganggapnya sebagai ancaman bagi organisasi mereka sehingga tindakan-tindakan mereka disesuaikan dengan pandangan demikian. Organisasi atau perusahaan yang terlalu tajam dan jelas membedakan posisi pimpinan dan bawahan seringkali mengabaikan kebutuhan karyawan akan rasa memiliki (sense of belonging). Seharusnya karyawan pada level kebutuhan ini dimotivasi untuk memiliki rasa memiliki atas misi dan visi organisasi dan menyatukan ambisi personal dengan ambisi organisasi. Antara pengembangan pribadi dan organisasi mempunyai hubungan resiprok yang hasilnya dirasakan secara timbal balik.
Dalam ranah Perilaku Organisasi, kita kenal apa yang disebut manajemen konflik. Berbeda dari pandangan tradisional yang melihat konflik secara negatif, terdapat pandangan interaksionis yang melihat konflik tidak hanya sebagai kekuatan positif dalam kelompok namun juga sangat diperlukan agar kelompok berkinerja efektif. Konflik bisa baik atau buruk tergantung pada tipenya. Tanpa bermaksud menolak atau mendukung salah satu pandangan, dapat dikatakan bahwa potensi konflik dalam organisasi selain mengganggu rasa aman juga dapat menciptakan alienasi yang mengakibatkan disorientasi. Potensi mobilitas yang berlebihan yang umumnya dipaksakan oleh industrialisasi mengancam tercabutnya rasa kerasan dalam kelompok kerja, tantangan untuk adaptasi dalam kelompok baru dan asing, dan akhirnya menimbulkan kebutuhan akan rasa memiliki dan aneka kebutuhan yang masuk dalam hirarki tahap ini.
3.4 Kebutuhan akan Penghargaan
3.4.1 Identifikasi Kebutuhan akan Penghargaan
Menurut Maslow, semua orang dalam masyarakat (kecuali beberapa kasus yang patologis) mempunyai kebutuhan atau menginginkan penilaian terhadap dirinya yang mantap, mempunyai dasar yang kuat, dan biasanya bermutu tinggi, akan rasa hormat diri atau harga diri. Karenanya, Maslow membedakan kebutuhan ini menjadi kebutuhan akan penghargaan secara internal dan eksternal. Yang pertama (internal) mencakup kebutuhan akan harga diri, kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan, dan kebebasan (kemerdekaan). Yang kedua (eksternal) menyangkut penghargaan dari orang lain, prestise, pengakuan, penerimaan, ketenaran, martabat, perhatian, kedudukan, apresiasi atau nama baik. Orang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri. Dengan demikian ia akan lebih berpotensi dan produktif. Sebaliknya harga diri yang kurang akan menyebabkan rasa rendah diri, rasa tidak berdaya, bahkan rasa putus asa serta perilaku yang neurotik. Kebebasan atau kemerdekaan pada tingkat kebutuhan ini adalah kebutuhan akan rasa ketidakterikatan oleh hal-hal yang menghambat perwujudan diri. Kebutuhan ini tidak bisa ditukar dengan sebungkus nasi goreng atau sejumlah uang karena kebutuhan akan hal-hal itu telah terpuaskan.
3.4.2 Aplikasi Manajemen
Tidak jarang ditemukan pekerja di level manajerial memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ada apa gerangan? Apakah kompensasi gajinya tidak memuaskannya? Ternyata tidak selamanya uang dapat memotivasi perilaku individu dalam organisasi. Dari semua indikasi yang terdata, tampaknya organisasi yang menyandarkan peningkatan kinerja karyawan mereka pada aspek finansial, tidak memperoleh hasil yang diharapkan. Benar bahwa uang adalah salah satu alat motivasi yang kuat, tetapi penggunaannya harus disesuaikan dengan persepsi nilai setiap karyawan. Individu tertentu pada saat dan kondisi tertentu barangkali tidak lagi merasakan uang sebagai penggerak kinerja.
Ketimbang uang, individu pada level ini lebih membutuhkan tantangan yang dapat mengeksplorasi potensi dan bakat yang dimilikinya. Tidak mengherankan bahwa sejumlah top manajer tiba-tiba mengundurkan diri ketika merasa tidak ada lagi tantangan dalam perusahaan tempat mereka bekerja. Keinginan atau hasrat kompetitif untuk menonjol atau melampaui orang lain boleh dikatakan sebagai sifat universal manusia. Kebutuhan akan penghargaan ini jika dikelola dengan tepat dapat menimbulkan kinerja organisasi yang luar biasa. Tidak seperti halnya kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih rendah, kebutuhan akan penghargaan ini jarang sekali terpenuhi secara sempurna.
Sebagai bagian dari sebuah pendekatan yang lebih konstruktif, manajemen partisipatif dan program-program umpan balik positif (positive feedback programs) dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan. Pendelegasian otonomi dan tanggung jawab yang lebih luas kepada karyawan telah terbukti efektif untuk memotivasi kinerja dan performa yang lebih baik. Keberhasilan eksperimen Mayo seperti telah diuraikan sebelumnya menunjukkan bahwa penghargaan finansial terbukti tidak selamanya seefektif penghargaan psikis. Masalahnya, banyak manajer seringkali lupa atau berpikir banyak kali untuk memberikan pujian dan pengakuan tulus bagi prestasi karyawan, dan sebaliknya tanpa pikir dua kali untuk melemparkan kritik atas pekerjaan buruk bawahannya.
Pakar kepemimpinan, William Cohen, mengatakan bahwa jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan yang baik untuk memberikan pengakuan kepada prestasi kerja dalam organisasi. Pengakuan merupakan salah satu motivator manusia yang paling kuat. Psikolog terkenal, B.F. Skinner menambahkan bahwa untuk mendapat motivasi maksimum, orang harus memuji secepat mungkin setelah tampak perilaku yang pantas mendapat pujian. Bahkan Napoleon Bonaparte terkejut menyaksikan kekuatan pengakuan sebagai motivator. Setelah tahu bahwa para prajuritnya bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkan medali yang diberikannya, Napoleon berseru: “Sungguh menakjubkan apa yang akan dilakukan orang untuk barang sepele seperti itu.”
3.5 Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
3.5.1 Identifikasi Kebutuhan Aktualisasi Diri
Menurut Maslow, setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuannya. Kebutuhan manusia untuk bertumbuh, berkembang, dan menggunakan kemampuannya disebut Maslow sebagai aktualisasi diri. Maslow juga menyebut aktualisasi diri sebagai hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuan sendiri, menjadi apa menurut kemampuan yang dimiliki. Kebutuhan akan aktualisasi diri ini biasanya muncul setelah kebutuhan akan cinta dan akan penghargaan terpuaskan secara memadai.
Kebutuhan akan aktualisasi diri ini merupakan aspek terpenting dalam teori motivasi Maslow. Dewasa ini bahkan sejumlah pemikir menjadikan kebutuhan ini sebagai titik tolak prioritas untuk membina manusia berkepribadian unggul. Belakangan ini muncul gagasan tentang perlunya jembatan antara kemampuan majanerial secara ekonomis dengan kedalaman spiritual. Manajer yang diharapkan adalah pemimpin yang handal tanpa melupakan sisi kerohanian. Dalam konteks ini, piramida kebutuhan Maslow yang berangkat dari titik tolak kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri diputarbalikkan. Dengan demikian perilaku organisme yang diharapkan bukanlah perilaku yang rakus dan terus-menerus mengejar pemuasan kebutuhan, melainkan perilaku yang lebih suka memahami daripada dipahami, memberi daripada menerima. Dalam makalah ini, gagasan aktualisasi diri akan mendapat sorotan lebih luas dan dalam sebelum masuk dalam pembahasan penerapan teori.
3.5.2 Ciri-ciri Pribadi Aktualisasi Diri
Dari hasil penelitian yang merupakan proses analisis panjang, Maslow akhirnya mengidentifikasikan 19 karakteristik pribadi yang sampai pada tingkat aktualisasi diri.
- Persepsi yang jelas tentang hidup (realitas), termasuk kemampuan untuk mendeteksi kepalsuan dan menilai karakter seseorang dengan baik. Berkat persepsi yang tajam, mereka lebih tegas dan jitu dalam memprediksikan peristiwa yang bakal terjadi. Mereka lebih mampu melihat dan menembus realitas-realitas yang tersembunyi dalam aneka peristiwa; lebih peka melihat hikmah dari pelbagai masalah.
- Pribadi demikian melihat hidup apa adanya dan bukan berdasarkan keinginan mereka. Mereka lebih obyektif dan tidak emosional. Orang yang teraktualisasi diri tidak akan membiarkan harapan-harapan dan hasrat-hasrat pribadi menyesatkan pengamatan mereka. Sebaliknya kebanyakan orang lain mungkin hanya mau mendengarkan apa yang ingin mereka dengar dari orang lain sekalipun menyangkut hal yang tidak benar dan jujur.
- Mempunyai spontanitas yang lebih tinggi. Mereka lebih peka terhadap inner life yang kaya dan tidak konvensional, serta memiliki kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang baru dan menghargai keindahan dalam hal-hal yang biasa. Biasanya mereka tidak merasa perlu menyembunyikan perasaan atau pikiran mereka, atau bertingkah laku yang dibuat-buat. Pribadi teraktualisai punya selera yang tinggi terhadap seni, musik, dan masalah-masalah politik dan filsafat.
- Keterpusatan-pada-masalah. Mereka amat konsisten dan menaruh perhatian pada pertanyaan dan tantangan dari luar diri, memiliki misi atau tujuan yang jelas sehingga menghasilkan integritas, ketidakpicikan, dan tekun introspeksi. Mereka mempunyai komitmen yang jelas pada tugas yang harus mereka kerjakan dan mampu melupakan diri sendiri, dalam arti mampu membaktikan diri pada pekerjaan, tugas, atau panggilan yang mereka anggap penting.
- Merindukan kesunyian. Selain mencari kesunyian yang menghasilkan ketenteraman batin, mereka juga dapat menikmatinya.
- Mereka sangat mandiri dan otonom, namun sekaligus menyukai orang lain. Mereka punya keinginan yang sehat akan keleluasaan pribadi yang berbeda dari kebebasan neurotik (yang serba rahasia dan penuh rasa takut). Terkadang mereka terlihat sangat otonom, karena mereka menggantungkan diri sepenuhnya pada kapasitas sendiri. Inilah paradoksnya: mereka adalah orang yang paling individualis sekaligus sosial dalam masyarakat. Bila mereka menaati suatu aturan atau perintah, hal itu didasarkan pada pemahaman akan manfaat yang dapat dicapai dari pemenuhan aturan yang bersangkutan, dan bukan karena ikut-ikutan.
- Ada kalanya mereka mengalami apa yang disebut “pengalaman puncak” (peak experience); saat-saat ketika mereka merasa berada dalam keadaan terbaik, saat diliputi perasaan khidmat, kebahagiaan dan kegembiraan yang mendalam atau ekstase. Hal ini berkaitan dengan kemampuan mereka untuk berkonsentrasi secara luar biasa. Kadang-kadang kemampuan ini membuat mereka seolah linglung. Tidak jarang mereka mengalami flow dalam kegiatan yang mereka lakukan.
- Rasa kekeluargaan terhadap sesama manusia yang disertai dengan semangat yang tulus untuk membantu sesama.
- Pribadi unggul ini lebih rendah hati dan menaruh hormat pada orang lain. Mereka yakin bahwa dalam banyak hal mereka harus belajar dari orang lain. Hal ini membuat mereka mampu untuk mendengarkan orang lain dengan penuh kesabaran. Keutamaan (virtue) ini lahir dari pemahaman yang lebih dalam tentang diri sendiri. Sama seperti anak-anak, mereka mampu mendengarkan orang lain tanpa apriori atau penilaian sebelumnya. Maslow menyebut keunggulan ini sebagai “Being cognition” atau “B-cognition”; pengamatan yang pasif dan reseptif.
- Mereka memiliki etika yang jelas tentang apa yang baik dan apa yang jahat. Namun bagi mereka, pertentangan antara yang baik dan yang buruk tidaklah menjadi masalah. Secara konsisten, mereka akan memilih dan lebih menyukai nilai-nilai yang lebih luhur.
- Selera humor yang baik. Mereka tidak tertarik pada pelbagai lelucon yang melukai atau menyiratkan inferioritas yang membuat orang lain merasa dilecehkan. Mereka lebih menyukai humor yang filosofis, kosmik, atau yang nilai humornya terkandung dalam logika kata-kata. Mereka juga menonjol dalam hal toleransi terhadap kelemahan-kelemahan alamiah orang lain. Namun mereka sangat anti terhadap ketidakjujuran, penipuan, kebohongan, kekejaman, dan kemunafikan.
- Kreatif dalam mengucapkan, melakukan, dan menyelesaikan sesuatu. Sifat ini dikaitkan dengan fleksibelitas, tidak takut membuat sesuatu yang di kemudian hari ternyata adalah kesalahan, dan keterbukaan. Seperti seorang anak yang lugu, mereka tidak takut berkreasi karena cemoohan orang lain. Mereka kreatif dan melihat aneka peristiwa secara segar tanpa prasangka. Menurut Maslow, hampir setiap anak mampu membuat lagu, sajak, tarian, lakon, atau permainan secara mendadak, tanpa direncanakan atau didahului oleh maksud tertentu sebelumnya. Demikian jugalah kira-kira kreativitas orang yang teraktualisasi diri.
- Mereka memiliki penghargaan yang sehat atas diri sendiri bertolak dari pengenalan akan potensi diri mereka sendiri. Mereka bisa menerima pujian dan penghargaan tetapi tidak sampai tergantung pada penghargaan yang diberikan orang lain. Mereka tidak mendewakan kemasyhuran dan ketenaran kosong.
- Ketidaksempurnaan. Mereka tentu juga mempunyai perasaan bersalah, cemas, bersalah, iri dan lain-lain. Namun perasaan itu tidak seperti yang dialami orang-orang yang neurotis. Mereka lebih dekat dengan cara pikir positif. Mereka tidak selalu tenang, kadang-kadang bisa meledakkan amarah pula; bosan dengan obrolan basa-basi , omong-kosong, dan hiruk-pikuk suasana pesta.
- Mereka mempunyai “hirarki nilai” yang jelas. Mereka mampu melihat dan membedakan mana yang lebih penting dan harus diprioritaskan dalam situasi tertentu. Kadar konflik dirinya rendah. Mereka memiliki lebih banyak energi untuk tujuan-tujuan yang produktif daripada menghabiskan waktu untuk menyesali diri dan keadaan. Bagi mereka, pertentangan antara yang baik dan yang buruk tidaklah menjadi masalah. Secara konsisten, mereka akan memilih dan lebih menyukai nilai-nilai yang lebih luhur, dan dengan tulus mengikutinya. Bagi orang-orang ini, disiplin diri relatif mudah sebab apa yang ingin mereka lakukan sejalan dengan apa yang mereka yakini benar. Nilai-nilai mereka didasarkan pada apa yang nyata bagi mereka, bukan pada apa yang dikatakan orang lain kepada mereka.
- Resistensi terhadap inkulturisasi. Mereka mampu melihat hal-hal di luar batasan kebudayaan dan zaman. Maslow menyebut mereka mempunyai apa yang disebut “kemerdekaan psikologis”. Hal itu tercermin dari keputusan-keputusan mereka yang terkadang “melawan arus” pendapat khalayak ramai. Mereka tidak segan menolak kebudayaan mereka jika memang tidak sejalan dengan akal sehat. Untuk hal-hal kecil seperti sopan-santun, bahasa, dan pakaian, makanan, dan sebagainya tidak dipermasalahkan. Tapi bila menyangkut hal-hal yang dirasa melawan prinsip-prinsip dasar, mereka dapat bersikap bebas mandiri dan bertindak di luar kebiasaan.
- Mereka cenderung mencari persahabatan dengan orang yang memiliki karakter yang sama, seperti jujur, tulus hati, baik hati dan berani, namun tidak menghiraukan ciri-ciri superfisial seperti kelas sosial, agama, latar belakang ras, dan penampilan. Dalam hal ini mereka tidak merasa terganggu oleh perbedaan-perbedaan. Makin matang kepribadiannya, mereka makin tidak peduli dengan penampilan ayu, tubuh tegap, badan montok, dan sebagainya. Sebaliknya mereka amat menjunjung tinggi soal kecocokan, kebaikan, ketulusan, dan kejujuran.
- Secara umum dapat dikatakan bahwa orang yang teraktualisasi diri cenderung membina hidup perkawinan yang kokoh, bahagia, dan berlangsung seumur hidup. Dalam pribadi yang sehat, perkawinan yang terbina memungkinkan kedua belah pihak saling meningkatkan kepercayaan dan harga diri, saling memberikan manfaat.
- Mereka itu sangat filosofis dan sabar dalam menuntut atau menerima perubahan yang perlu secara tertib. Sementara kebanyakan orang dalam masyarakat cenderung bersikap sangat praktis atau sangat teoritis, orang yang teraktualisasi diri lebih condong bersikap praktis sekaligus teoritis tergantung kondisi yang bersangkutan. Mereka berusaha mencintai dunia apa adanya, dengan tetap membuka mata pada kekurangan yang ada seraya berupaya memperbaikinya.
Pada tingkat puncak hirarki kebutuhan ini, tidak banyak yang dapat dikatakan tentang bagaimana cara memotivasi individu pada level ini. Bagi orang-orang yang dikatakan telah mencapai kematangan psikologis ini, disiplin diri relatif mudah sebab apa yang ingin mereka lakukan sejalan dengan apa yang mereka yakini benar. Nilai-nilai dan tindakan mereka didasarkan pada apa yang nyata bagi mereka, bukan pada apa yang dikatakan orang lain kepada mereka. Bila pada level kebutuhan sebelumnya, individu biasa dimotivasi oleh kekurangan, orang yang matang ini terutama dimotivasi oleh kebutuhannya untuk mengembangkan serta mengaktualisasikan kemampuan-kemampuan dan kapasitas-kapasitasnya secara penuh. Bahkan menurut Maslow, istilah motivasi kurang tepat lagi untuk diterapkan pada kebanyakan orang yang berada di tahap aktualisasi diri. Mereka itu amat spontan, bersikap wajar, dan apa yang mereka lakukan adalah sekedar untuk mewujudkan diri; sekedar pemenuhan hidup sebagai manusia. Seperti kata Luijpen: Being man is having to be man.
3.5.4 Teori-teori Motivasi Komplementer
Dari sudut pandang filosofis, tidak ada teori dalam sejarah yang tak berguna. Gagasan “selemah” apa pun tetap dapat menjadi titik tolak atau pancingan untuk melahirkan ide yang lebih baik dan lengkap. Dalam sejarah, pandangan muskil geosentris yang melihat bumi sebagai pusat tata surya telah memancing teori yang benar: heliosentris dari Copernicus. Tidak mengherankan muncul sebuah istilah teknis: “pembalikan kopernikan” untuk menyatakan suatu terobosan gagasan yang menjungkirbalikkan suatu pandangan sebelumnya. Bagian ini tidak dimaksudkan untuk mengusulkan suatu teori motivasi yang baru. Tetapi apa yang akan diuraikan berikut menyiratkan bahwa dewasa ini tidak ada satu pun teori motivasional tunggal yang dapat memecahkan segala pertanyaan tentang motivasi karyawan. Oleh karena itu perpaduan berbagai teori motivasional dalam bagian ini akan memperlihatkan bagaimana teori-teori tersebut saling melengkapi (komplementer) dan kapan sebaiknya diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi organisasi.
Pertanyaan yang paling banyak diajukan sehubungan dengan tema motivasi adalah: “Bagaimana saya dapat memotivasi karyawan saya?” Untuk menjawab masalah ini, ada empat hal yang harus digali, yakni:
- Apa yang secara intrinsik (batiniah) merangsang perilaku individu?
- Imbalan (reward) apa yang dapat memuaskan kebutuhan individu?
- Bagaimana menyesuaikan kebutuhan individu dengan imbalan (reward)?
- Bagaimana caranya agar individu betah dalam organisasi?
Untuk soal kedua, McClelland telah melakukan banyak riset dan mengusulkan tiga jawaban, yakni:
- Bagi individu yang memiliki motif afiliasi tinggi, sebaiknya diberi kesempatan untuk bertugas dalam kelompok yang dipilih sendiri. Kembangkanlah program kompensasi lebih berdasarkan kelompok daripada produktivitas individual.
- Bagi individu dengan motif kekuasaan yang tinggi, sebaiknya diberi wewenang atas orang lain yang disesuaikan dengan derajat keterampilan yang mereka miliki.
- Bagi individu dengan motif pencapaian prestasi yang tinggi, hendaknya ditentukan bersama dengan mereka sasaran dengan tingkat kesulitan yang sedang saja. Berikan tanggung jawab untuk menyelesaikan sasaran denga cara mereka sendiri dan pastikan bahwa mereka mendapatkan cukup pengetahuan tentang kemajuan mereka melalui sistem umpan balik yang baik.
Untuk soal ketiga, Herzberg masih menawarkan konsep yang disebut pemerkayaan pekerjaan. Caranya adalah menanyakan kepada karyawan yang telah diperkaya pekerjaannya tentang fungsi manajemen apa yang kini dikerjakan oleh atasannya, yang ia sendiri ingin dan dapat mengerjakannya. Kemudian delegasikan fungsi itu kepadanya. Pemerkayaan pekerjaan ini mencakup sekaligus tambahan pekerjaan dan tanggung jawab yang bukan hanya diserahkan begitu saja.
Metode lain yang sangat populer dalam menjawab soal ketiga ini adalah yang disebut Manajemen Berdasarkan Tujuan (Management by Objectives/MBO). Metode ini menawarkan empat langkah yang harus ditempuh, yakni:
- Menetapkan sasaran bersama-sama. Di sini manajer meminta setiap karyawan untuk menentukan sasaran yang ingin ia capai dalam jangka tertentu. Manajer sendiri secara terpisah juga mengidentifikasi sasaran yang harus dicapai karyawannya. Kemudian kedua versi sasaran dipertemukan untuk disusun daftar gabungan.
- Merencanakan tindakan. Manajer dan karyawan berembug untuk merumuskan tindakan apa yang akan dipakai untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Di sini manajer tentu dapat berperan lebih untuk merumuskan tindakan-tindakan strategik. Namun cara penyampaian harus sedemikian rupa sehingga hasil rembukan tetap tampak sebagai hasil kerja sama. Jika orang merasa dihargai, maka mereka akan mengumpulkan banyak energi untuk melaksanakan pekerjaaannya.
- Penerapan. Langkah ini meliputi pelaksanaan dari tindakan yang telah direncanakan untuk mencapai sasaran yang telah disetujui bersama.
- Pengkajian. Pada akhir jangka waktu pelaksanaan, adakan pertemuan dengan karyawan untuk membandingkan sasaran yang direncanakan dengan hasil nyata yang tercapai. Bila sasaran tercapai, karyawan patut diberi penghargaan yang memadai. Jika tidak tercapai, penting untuk dicari sebab-sebab masalahnya.
Untuk menjawab soal terakhir, kita menuju teori yang disebut teori Penguatan (reinforcement theory) yang telah berkembang menjadi strategi bernama Modifikasi Perilaku. Teori ini berseberangan dengan MBO. MBO merupakan pendekatan kognitif yang menekankan bahwa sasaran individu mengarahkan tindakannya. Sedangkan dalam teori Penguatan, kita mempunyai pendekatan perilaku (behavioristik), yang melihat penguatanlah yang mengkondisikan perilaku. Teori ini menawarkan tiga langkah, yakni:
- Menetapkan sasaran. Ini sama dengan langkah pertama MBO. Teori Penguatan menggarisbawahi bahwa sasaran haruslah dapat diukur.
- Memberi umpan balik. Langkah ini harus diambil secara efektif oleh manajer. Teori ini menekankan bahwa setiap saat yang diinginkan, karyawan sebaiknya tahu bagaimana kemajuan mereka menuju sasaran, tindakan untuk mengoreksi diri dapat diambil secepat mungkin.
- Memberikan imbalan tepat waktu. Imbalan yang dalam praktek terbukti paling penting tetapi juga paling tidak dimanfaatkan oleh manajer, adalah pengakuan. Sudah sering terdengar keluhan karyawan bahwa manajer mereka seakan tidak tidak tahu semua hal baik yang telah dikerjakan mereka. Tetapi begitu ada kesalahan, mereka langsung mendapat kritik atau celaan. Dalam jangka pendek, celaan mungkin dapat menjadi motivator sementara. Tetapi biasanya celaan cenderung memiliki sejumlah konsekuensi disfungsional bagi organisasi dalam jangka panjang. Orang butuh motivasi, bukan celaan.
4. KESIMPULAN: PRO DAN KONTRA TEORI ABRAHAM MASLOW
Dari sekian banyak teori motivasional yang ada, mungkin teori Hirarki Kebutuhan Maslow yang paling luas dikenal. Teori ini mewariskan pesan bagi kita bahwa begitu orang melewati tingkat kebutuhan tertentu, ia tidak lagi terdorong oleh motivasi tingkat di bawahnya. Hal ini memberikan pengertian agar seorang manajer atau pemimpin atau motivator dalam organisasi hendaknya mengenal apa yang dibutuhkan oleh bawahannya. Kebutuhan seorang buruh produksi harian dengan karyawan staff manajerial tentu berbeda. Untuk memberikan motivasi yang dapat meningkatkan performa kepada keduanya, seorang motivator harus memberikan treatment yang berbeda sesuai dengan kebutuhan mereka. Bilamana seorang karyawan mempunyai gaji dan keamanan kerja yang dapat memenuhi kebutuhan fisiologis dan rasa amannya, maka hal itu tidak lagi akan memberikan motivasi. Sama halnya kita tidak akan meresahkan kebutuhan bernapas, kecuali kita mempunyai masalah dalam organ pernapasan kita.
Hirarki Kebutuhan Maslow penting bagi kita karena membantu menjelaskan mengapa gaji tinggi, keuntungan yang baik, dan keamanan kerja tidak selamanya dapat memotivasi kinerja. Dengan menelaah apa yang menjadi kebutuhan karyawan dan memberikan pemuasan yang tepat sasaran, seorang motivator benar-benar telah mengelola motivasi. Mengelola motivasi berarti mengajak orang untuk melakukan sesuatu yang kita inginkan untuk dilaksanakan, kapan dan bagaimana itu dilakukan, karena orang ingin melakukannya.
Hendaknya hirarki kebutuhan Maslow tidak dilihat secara kaku dan mutlak. Batas-batas antara tingkatan yang satu dengan yang lain tidak terlampau jelas dan lebih menunjukkan saling tumpang tindih. Tidak bisa dipastikan dengan kaku bahwa kebutuhan rasa aman hanya akan muncul setelah kebutuhan akan makanan terpuaskan sepenuhnya. Kebanyakan orang dalam masyarakat kita telah mampu memuaskan sebagian besar kebutuhan dasariah mereka kendati belum dalam arti sepenuh-penuhnya. Yang mau ditekankan adalah bahwa begitu suatu tingkat kebutuhan terpuaskan, maka kebutuhan tersebut tidak lagi akan memiliki pengaruh yang berarti pada motivasi.
Sebagaimana lumrahnya perkembangan suatu teori, tesis Maslow juga mengundang sejumlah antitesis. Itulah dinamika dan dialektika ilmu pengetahuan. Sejumlah kalangan melihat bahwa teori Maslow, kendati tampak sah bagi banyak orang, namun masih harus dibuktikan secara empiris. Dalam kenyataannya, sulit sekali untuk memisahkan dan mengukur kebutuhan itu. Urutan hirarki spesifik tidak sama bagi semua orang. Juga tidak ada penjelasan kapan suatu kebutuhan sudah cukup terpenuhi. Dan mungkin ada beberapa kebutuhan yang dominan dalam diri seseorang pada saat yang sama.
Manusia memang makhluk yang dinamis dan multidimensional. Semua teori ilmu pengetahuan tentang manusia mesti berhadapan dengan kenyataan itu. Dari kenyataan ini, orang melihat bahwa teori Maslow semestinya didukung lagi dengan bukti-bukti empiris yang lebih banyak. Hingga saat ini belum cukup bukti yang jelas yang menunjukkan bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia dapat dikategorikan ke dalam lima kelompok yang berbeda atau berada pada suatu hirarki. Sejumlah ahli menjadi ragu karena hasil penelitian-penelitian memberikan hasil yang berbeda; beberapa penelitian mendukung, sedangkan yang lainnya menolak. Wahba dan Bridwell (1976) menyimpulkan suatu paradoks untuk teori Maslow: bahwa teori ini diterima luas, tapi tidak banyak didukung oleh bukti riset.
Patut disayangkan bahwa bagian terbesar dari hasil-hasil riset tersebut dicapai dari studi-studi yang tidak menguji teori Maslow secara tepat. Evaluasi di atas menunjukkan sejumlah keterbatasan yang lumrah pada suatu teori ilmiah. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa teori Maslow telah meletakkan batu pertama untuk penelitian struktur individu terutama menyangkut apa yang lebih mendorong perilaku tertentu dalam organisasi. Sumbangan Maslow tidak sedikit untuk perkembangan psikologi organisasi. Bila ditinjau lebih khusus, evaluasi atau riset yang menghasilkan kesimpulan yang tidak mendukung teori bisa saja berangkat dari pemahaman yang tidak komprehensif atas teori dan jalan pikiran Maslow. Tidak jarang terjadi, dalam banyak kasus penelitian, teori yang baik gagal dibuktikan karena metode dan aplikasi riset yang buruk. Tidak adanya keberhasilan sering disebabkan oleh salah pengertian teori, atau penerapan buruk konsep motivasi yang baik.
Dalam buku Motivation and Personality, Maslow berkali-kali mengingatkan agar jangan sesekali memutlakkan kelima tingkat kebutuhan atau membedakannya secara tajam dan kaku. Kiranya Maslow sepenuhnya menyadari sejak awal bahwa berbicara tentang struktur kepribadian manusia yang dinamis tidak segampang membalikkan telapak tangan.
Untuk memahami, menerima, dan menerapkan teori yang hingga kini masih menggema ini, kita harus memahami sejumlah kualifikasi lanjutan agar konsep kita menjadi lebih komprehensif.
Pertama, mengingat teori Maslow merupakan suatu teori umum tentang kebutuhan manusia, maka ketika diterapkan kepada manusia tertentu (dengan budaya tertentu) tentu terdapat kekecualian-kekecualian dalam pengurutan umum hirarki yang ada. Ada orang tertentu yang tidak pernah berkembang melampaui tingkatan pertama atau kedua, sedangkan ada pula orang lain yang demikian terpukau oleh kebutuhan tingkat tinggi sehingga kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah tidak menarik bagi mereka.
Kedua, rantai kausatif tidak selalu berlangsung dari stimulus-kebutuhan-perilaku. Sekalipun Maslow dalam tesisnya menyatakan bahwa apabila seseorang tidak dapat memenuhi dua macam kebutuhannya, maka ia lebih menginginkan pemenuhan kebutuhan yang lebih mendasar. Nyatanya, mungkin tindakan-tindakannya tidak sesuai dengan keinginannya karena ideal, standar sosial, norma, dan tugas-tugas dapat mempengaruhi dirinya.
Ketiga, suatu tindakan jarang sekali dimotivasi oleh sebuah kebutuhan tunggal. Setiap tindakan cenderung disebabkan oleh berbagai macam kebutuhan. Di lain sisi, dua kebutuhan yang sama tidak selalu akan menyebabkan timbulnya reaksi yang sama pada setiap individu. Umumnya dapat kita lihat bahwa individu-individu dapat mengembangkan tujuan-tujuan substitut ketika pencapaian langsung terhadap suatu kebutuhan terhalangi.
Keempat, perlu disadari bahwa banyak di antara tujuan yang diupayakan oleh manusia merupakan tujuan-tujuan jauh dan berjangka panjang yang hanya dapat dicapai melalui suatu seri langkah dan sarana. Bila dalam jangka pendek seseorang tidak menampakkan minat pada tujuan tertentu belum tentu bahwa ia tidak membutuhkannya. Menyadari hal ini, lagi-lagi ditegaskan betapa besar misteri yang meliputi kepribadian manusia. Kata pemeo, dalamnya lautan bisa diduga, dalamnya hati manusia sungguh tak dinyana. Barangkali misteri manusia in jugalah yang membatasi semua teori tentang manusia.
Seorang ilmuwan bernama Craig Pinder memberikan jalan tengah atas dua kubu pendapat yang pro-kontra sebagai berikut:
“Teori Maslow tetap sangat populer di kalangan para manajer dan mereka yang mempelajari perilaku organisasi kendati tidak banyak studi yang secara resmi dapat mengkonfirmasi atau menolaknya.... Ada kemungkinan bahwa dinamika yang terimplikasi pada teori Maslow tentang kebutuhan bersifat terlalu kompleks untuk diterapkan dan dikonfirmasi oleh riset ilmiah. Jika demikian halnya, maka kita tidak pernah mungkin mendeterminasi berapa valid teori tersebut -atau secara tepat- aspek mana sajakah dari teori tersebut bersifat valid, dan aspek mana yang tidak valid.”
Sekalipun tidak banyak riset yang secara jelas mendukung teori ini, kita tetap dapat menarik pelajaran berharga bagi para manajer. Khususnya dapat dikatakan bahwa suatu kebutuhan yang terpenuhi mungkin akan kehilangan potensi atau daya motivasionalnya. Oleh karena itu, sebagai implikasi atas teori ini, para manajer dianjurkan untuk memotivasi para karyawan mereka dengan jalan merancang program-program atau praktek-praktek yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang muncul atau kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi.
Lianto
Subscribe to:
Posts (Atom)